Budaya Pop

Biarkan Kami Membuat Semua ini Singkat dan Manis

Ibe S. Palogai — Asumsi.co

featured image

Hidup kami adalah masa lalu yang sedang terjadi. Dan dengan sumbu yang entah menyala hingga kapan, kami berusaha menyangkal hal tersebut; pasungan gelar akademik, punggung muda yang menolak zaman, dan upaya meniup dunia yang berkabut, membuat kami tidak ingin menjadi epigon atas sejarah yang telah ada. Tetapi tetap saja, upaya ini tidak membuat sejarah menjadi gentar dan bertepuk tangan – ia telah menghadapi euforia semacam ini setiap zaman.

Mereka yang pernah liar di padang awanama untuk memburu babi dan rusa, mereka yang pernah menyerbu hutan dan membabat pohon-pohon untuk menanam gandum dan padi, mereka yang pernah dikirim ke medan perang lalu pulang dengan kaki pincang dan lencana pahlawan, mereka yang pernah menemukan rumus-rumus fisika dan kimia sambil menulis puisi tentang cinta dan revolusi. Produk terbaik dari setiap generasi itu adalah kalimat-kalimat indah yang kami kutip lagi tanpa konteks. Kami ingin membom dunia ini dengan selongsong gagasan yang tampaknya berbahaya dan kosong.

Sementara di dunia nyata ini, kami masih berjuang dalam pertempuran yang sudah mereka menangkan – mungkin juga telah membunuh mereka berkali-kali sebelum tiba di sini, dan kami luput menyiapkan taktik apa pun untuk mengalahkan mereka. Atau satu-satunya taktik yang kami siapkan hanya menyalahkan warisan buruk; orde baru, segregasi, komunisme, sekolah, kerusakan alam, sampah plastik, atau tata cara beragama. Sungguh itu semua hanya mungkin menjadi catatan kaki yang gagal kami rumuskan menjadi konsep.

Lalu kami mengidentifikasi fakta-fakta semacam itu menjadi turunan dari problem sosial yang egois. Tidak cukup, kami juga melengkapinya dengan argumen yang hampa; tentang hidup yang sementara dengan ide-ide keabadian, tentang bunuh diri kelas dengan negosiasi pengetahuan, tentang tumbuh dan saling menjatuhkan.

Tetapi ada fakta lain yang kami sangkal sepanjang musim, pohon-pohon tua yang tidak sempat mereka tebang itu bisa menyimpan ingatan. Mereka tumbuh dan menyaksikan kehancuran demi kehancuran, dan biologi sebagai ilmu selalu luput menjelaskan fenomena tumbuhan itu kepada kami. Perusahaan kayu lalu menebangnya dan memindahkan ingatan itu menjadi meja. Kami gunakan bekerja di pagi hari, meminum kopi pada sore yang melelahkan, dan pada malam hari kami menaplaki meja itu dengan kisah-kisah durhaka penuh keluh tentang bau balsem dan bir dingin.

Seluruh keagungan atas permenungan cita-cita terendam di rawa belantara. Petuah tentang emas yang terkubur di lumpur akan tetap menjadi emas adalah panduan yang menunggu kami menyerah di ujung keangkuhan masa muda. Sebab kami adalah generasi yang memikirkan kematian lebih sering dibandingkan menyadari diri kami terbangun setiap hari pada pagi yang terlintang seperti tali jemuran – yang padanya, seprai dengan bolong kecil bekas rokok dan noda orgasme tidak saling mengenal. Andai saja kami bukan pengecut, sudah kami tinggalkan barak-barak kantor, mengejek setelan jas orang tua kami, menghapus praktik usang adat tentang pernikahan, masuk rumah, dan kematian. Kami akan melakukan semua kebalikan dari kemapanan pikiran orang tua kami. Nyatanya, kami hanya peduli pada lampu sorot yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar menyala.

Kami baru saja melintasi pangkal usia dua puluh lima tahun dan telah memandang masa kecil secara romantik – dan dengan sedikit arogansi, kami menertawakan masa kecil mereka yang lahir belakangan. Padahal kami adalah produk yang sama seperti mereka, yang dihajar oleh lokalitas kolektif atau dihapus dari identitas destruktif. Kami mendulang masa kecil yang dramatis sebagai jalan pintas untuk merasa lebih baik dari mereka – atau paling tidak dari diri sendiri. Pada akhirnya, seperti penutup paragraf pertama, kami memang tidak sanggup membuat perubahan, apa lagi membuat sejarah menjadi gentar dan bertepuk tangan. Kami tidak melakukan apa-apa dengan benar.

Sementara bahasa tak punya industri ketika tamu-tamu dari masa kecil melintas sebagai puisi yang tidak laku di toko-toko buku. Kami ingin membunuh ingatan mereka, atau mereka, satu persatu. Masa kecil kami tidak bahagia. Masa kecil kami tidak bahagia. Itu nyata dan kenyataan itu masih bisa membuat kami tertawa. Meski kami tetap bingung komedi apa yang disisakan tragedi ini, yang membuat kami terus tertawa dan bangga atau tertawa bangga.

Oh, Guru kami monster bernama pengganti orang tua di sekolah! Mereka mencintai kami dan membuat kami ketakutan. Mereka memaksa kami menulis nama sendiri dengan tangan kanan. Mereka memaksa kami duduk dengan tenang di kursi yang tidak boleh digeser. Mereka memaksa kami meninggalkan kelas pada jam istirahat. Mereka memaksa kami menyelesaikan pekerjaan rumah setiap hari. Mereka memaksa kami menghafal nama-nama pahlawan yang hidupnya penuh omong kosong. Mereka memaksa kami melukis pemandangan dengan sepasang gunung yang tidak pernah meletus. Kami hidup di masa kecil dengan paksaan-paksaan. Tetapi ketika dewasa, kami berharap bisa mengguncang dunia seperti super hero.

Sungguh terlambat bagi kami untuk bertemu dengan surat yang ditulis Charles Bukowski pada 12 Agustus 1986 – beberapa di antara kami belum lahir dan atau mungkin orang tua kami bahkan belum menikah. Surat yang ditujukan kepada John itu ingin kami salin. Kami ingin mengirim surat itu kepada diri kami sendiri. Tetapi kami kemudian terus menerus menemukan diri kami di dalam surat itu dan merasa tidak perlu melakukan apa pun lagi, “…sebagai seorang pemuda, saya tak percaya bahwa orang-orang dapat menyerahkan hidup mereka pada kondisi-kondisi itu…” sebab frasa kondisi-kondisi itu adalah segala keangkuhan. Kami yang keras kepala dan mudah menyesal. Kami yang penuh rencana dan mudah putus asa.

Tunggu! Mengapa kami membahas sebuah surat? Bukankah kami tidak senang membaca sesuatu yang membuat kami tidak nyaman dan tersinggung? Kami tidak ingin kenyataan kami diremehkah oleh orang asing. Kami tidak ingin kemegahan masa muda ini diejek oleh orang tua. Kami bahkan tidak ingin membaca tulisan semacam ini!

Apakah pemabuk itu tidak tahu, kami kini purna-virtual yang hidup di media sosial. Di sana, kami berkerumun seperti serigala dan bereaksi seperti lebah; kami menyerang pandangan pribadi yang berbeda dengan kami, kami menggunakan semua umpatan buruk untuk menjatuhkan mental orang lain. Kami menolak gagasan atas kebenaran tunggal dan pada waktu yang sama kami hanya setuju pada kelompok kami. Apakah Bukowski tidak khawatir makamnya kami kencingi karena menyerang kesangaran kami?

Kami baru saja melintasi pangkal usia dua puluh lima tahun dan telah melihat semua kesengsaraan yang ditawarkan dunia ini. Tidak seorang pun yang punya kuasa menginterupsi kami! Kami tidak punya identitas dan kami harus mengaku sebagai pewaris sah dunia ini. Tetapi kami bingung mesti menuntut pengakuan kepada siapa. Kami tidak peduli jika dunia ini tidak ingin berbicara kepada kami. Kami dibuat menderita oleh dunia ini dan secara alami kami tumbuh dengan segala eksklusivisme abad dua puluh satu.

Ya! Kami merampok dunia ini dari generasi sebelum kami. Mereka tidak percaya kami bisa memperbaiki dunia ini. Kami ingin dunia ini menjadi lebih baik dengan tidak melakukan apa pun. Apakah mereka tidak bisa memahami semangat zaman ini? Kami ingin meninju dunia dengan cara yang kami curigai tidak dilakukan oleh generasi sebelum kami. Tetapi nyatanya, yang berbeda bukan berarti yang pertama. Kami hanya tumbuh sebagai orang asing yang mencoba membantu kalian mengerti hal-hal yang sudah kalian ketahui meski kami tidak tahu siapa diri kami sebenarnya. Historia magistra vitae.

Ibe S Palogai adalah seorang penyair. Pada 2012, dia dan kawan-kawannya mendirikan perpustakaan jalanan di Makassar. Ibe mengikuti program residensi penulis Indonesia di Leiden, Belanda, dengan dukungan Komite Buku Nasional, pada 2018. Bukunya, Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi, terbit di tahun yang sama dan menjadi finalis Kusala Sastra Khatulistiwa

Share: Biarkan Kami Membuat Semua ini Singkat dan Manis