Isu Terkini

Bersama Menghapuskan Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Satu dari dua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Itulah hasil Survei Nasional Koalisi Ruang Publik Aman yang rilis pada 27 November lalu.

Rinciannya: survei dengan total responden sebanyak 62.224 orang dari berbagai usia, tingkat pendidikan, gender, identitas, dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia ini menunjukkan bahwa 48,9% perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Di sisi lain, persentase laki-laki yang pernah mengalami perkara serupa adalah 27%, atau satu dari setiap lima laki-laki.

“Salah satu alasan kami melakukan survei ini adalah ingin filling the gap data tentang pelecehan seksual di Indonesia. Bahkan, di Komnas Perempuan pun, kebanyakan laporan yang masuk adalah kekerasan seksual di ruang privat. Kekerasan di transportasi umum, kampus, dan sekolah jarang sekali dilaporkan,” kata Anindya Restuviani (Vivi), perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA).

Pada Juli 2019, KRPA telah merilis hasil survei tentang pelecehan seksual di ruang publik. Hasil survei tersebut mematahkan mitos-mitos seputar pelecehan seksual, seperti korban memakai busana yang terbuka atau bepergian di malam hari.

Faktanya, pelecehan seksual paling sering terjadi di siang hari (35%) dan sebagian besar korban tidak mengenakan busana terbuka: 18% mengenakan celana atau rok panjang, 17% mengenakan hijab, dan 16% mengenakan baju lengan panjang. Sementara itu, persentase korban yang memakai baju atau celana ketat hanya 1,31%.

Survei KRPA ini menunjukkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual tak pandang bulu: semua perempuan, terlepas dari cara berpakaian dan tempat mereka berada, rentan mengalaminya.

Kerawanan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar: bukankah seharusnya ruang publik, khususnya transportasi umum, aman bagi semua penggunanya? Bagaimana cara agar tercipta ruang yang aman bagi perempuan?

Ruang Khusus Perempuan

Hasil penelitian Transjakarta dengan lembaga peneliti independen menunjukkan bahwa mayoritas penumpang bus Transjakarta adalah perempuan. Hal ini disampaikan oleh Nadia Diposanjoyo selaku Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Transjakarta. “Apalagi di Koridor 13, di mana kebanyakan penumpangnya turun di Pasar Mayestik,” tutur Nadia.

Layanan transportasi umum seperti Transjakarta, KCI (Kereta Commuter Indonesia), MRT, dan lain-lain sadar pentingnya mencegah kasus-kasus pelecehan seksual—baik dalam kendaraan, halte, dan stasiun.

Salah satu upaya pencegahan yang telah dilakukan adalah dengan membuat ruang khusus bagi perempuan. KCI, misalnya, selalu menjadikan kereta pertama dan terakhir mereka sebagai ruang khusus perempuan. Begitu pula dengan Transjakarta yang punya ruang khusus perempuan di bagian depan dan MRT yang menjadikan keretanya khusus perempuan di jam-jam sibuk.

“Semua bus ukuran besar dan sedang sudah punya area khusus perempuan. Ada pula bus-bus khusus perempuan yang saat ini jumlahnya 10 unit dan CCTV yang dipasang di dalam bus,” kata Nadia.

Magdalena Sitorus, komisioner Komnas Perempuan, mengatakan pemisahan ini bisa jadi langkah awal, tetapi bukan untuk dijadikan solusi utama. Tidak melakukan pelecehan atau kekerasan seksual kepada perempuan seharusnya lahir dari kesadaran akan pentingnya menghormati sesama.

“Idealnya sih bukan karena dipisah, tapi karena ada rasa saling menghormati antar sesama. Ini mungkin langkah pertama, tapi ke depannya mesti dibarengi dengan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran itu,” kata Magdalena.

Pentingnya Upaya Bersama

KRPA menemukan 19 bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di transportasi umum. Beberapa di antaranya ialah bersiul atau bersuit menggoda, berkomentar tentang tubuh, berkomentar seksis, memfoto tanpa persetujuan, meraba, menggesekkan alat kelamin, dan mempertontonkan masturbasi. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi patokan bagi penyedia layanan transportasi dalam membuat kebijakan penanganan kasus pelecehan seksual.

“Menurut kami sangat penting bagi penyedia jasa transportasi untuk melihat 19 bentuk ini. Nggak hanya yang sering terjadi, tapi juga yang jarang. Karena, kasus yang jarang seperti difoto, misalnya, bisa menimbulkan bentuk-bentuk pelecehan lain. Seperti ketika foto itu tersebar dan jadi viral,” kata Rastra selaku perwakilan KRPA.

Menanggapi paparan KRPA, Kementerian Perhubungan mengaku belum punya regulasi yang optimal terkait pencegahan pelecehan atau kekerasan seksual terhadap penumpang. Ari Widianto selaku Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kemenhub mengatakan bahwa fokus lembaganya masih terbatas pada ibu hamil, penyandang disabilitas, dan manula.

Ari berjanji akan berkoordinasi dengan berbagai lembaga advokasi perempuan dan membahas perumusan regulasi yang melindungi penumpang perempuan. Ia juga berharap agar pihak lembaga advokasi dapat mempelajari peraturan-peraturan Kemenhub terkait transportasi umum yang telah ada dan memberikan saran perbaikan.

“Apabila di UU masih merasa perlu didetailkan, detailnya tidak hanya di peraturan pemerintah, tapi juga di peraturan Menteri Perhubungan. Kami akan mendorong operator untuk menyempurnakan SOP dan bekerja sama dengan penegak hukum,” kata Ari.

Sikap responsif penyedia jasa layanan transportasi dalam menangani kekerasan seksual jelas penting. Vivi menekankan bahwa petugas, penumpang, dan orang-orang di sekitar peristiwa mesti turut sigap dalam membantu korban kekerasan seksual. Hasil survei KRPA juga menunjukkan bahwa 92% korban merasa terbantu jika ada orang lain yang mengintervensi pelecehan.

“Sering kali kita memberikan pelatihan informasi hanya kepada korban. Padahal penting pula bagi pihak seperti customer service yang berhubungan langsung dengan korban untuk punya perspektif gender yang baik. Maka dari itu, yang bisa kita lakukan sama-sama adalah meningkatkan kesensitifan teman-teman penyedia layanan terhadap isu-isu gender,” kata Vivi.

Cara penerima aduan kasus kekerasan seksual merespons aduan korban memang punya peran krusial. Penerima aduan mesti memastikan pihaknya tidak berbalik menyalahkan korban (victim blaming) dan malah membuat korban semakin sengsara.

Laporan penelitian “After Dark: Encouraging Safe Transit for Women Travelling at Night” (2019) yang disusun oleh UN Women dan Pulse Lab Jakarta menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual seringkali enggan untuk melaporkan kasusnya. Mereka ragu bahwa kasus akan ditindaklanjuti.

Perwakilan layanan aplikasi transportasi daring Grab turut memaparkan pentingnya memiliki penanganan yang berperspektif korban. Grab juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain seperti Komnas Perempuan dan Yayasan Pulih untuk melatih tim penanganan mereka.

Call center itu harus dibedakan, antara yang terima laporan tentang dirinya dilecehkan dengan yang dompetnya ketinggalan. Kami sudah punya tim immediate response yang dilatih oleh Yayasan Pulih supaya bisa mendengarkan korban dengan empatik dan punya perspektif gender,” tutur Shally Pristine selaku perwakilan Grab Indonesia.

Selain petugas, publik pun dapat turut membantu menangani dan mendampingi korban. Teknik intervensi itu terangkum dalam 5D: direct (mengonfrontasi pelaku secara langsung), distract (mengalihkan perhatian pelaku), delegate (mencari bantuan pihak ketiga), delay (memastikan korban tidak apa-apa), dan document (mendokumentasikan peristiwa untuk menjadi barang bukti).

“Kalau orang-orang di sekitarnya sudah paham, pelaku mungkin juga akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan,” ujar Magdalena.

Share: Bersama Menghapuskan Pelecehan Seksual di Transportasi Umum