Budaya Pop

Bangkitnya Superhero Kami

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

Karena tak bisa berjalan-jalan ke mal atau nongkrong di kedai kopi, saya menaruh harapan pada berbagai film dan serial yang diputar di televisi atau aplikasi streaming untuk menghibur diri dari penatnya beraktivitas seharian penuh di dalam ruangan. Belakangan, film-film superhero kembali diputar di layar kaca, seringnya sih Captain America dan kawan-kawannya. Lumayanlah, bisa menyaksikan kembali aksi ciamik Chris Evans dan Robert Downey Jr. sekaligus mengenang masa-masa bisa nonton di bioskop dulu.

Selama tiga bulan lebih bekerja dari rumah, saya sudah lima kali menyaksikan Avengers: End Game di televisi. Anehnya, meskipun sudah menonton berulang-ulang, saya selalu merasa ada yang kurang dengan para jagoannya. Saya akui mereka tangguh dan hebat, sanggup memenangkan pertempuran sesengit apa pun. Namun, saya tahu bahwa pahlawan kualitas super itu tidak nyata, dan itulah persoalannya.

Sampai suatu kali saya melihat sendiri sosok superhero itu. Lebih tepatnya, saya baru menyadari bahwa saya telah berkali-kali ditolong superhero. Superhero yang membantu saya tidak mengenakan jubah terbang, hanya setelan berwarna pucat yang mirip jas hujan. Ia juga tidak mengendarai jet tempur, tapi motor bebek yang sudah berumur. Di tangannya juga tidak ada tongkat Tesseract seperti milik Loki, hanya tongkat pel dan cairan pembersih. Ia tidak tinggal di markas mewah, hanya pos dekat gerbang yang seadanya. Superhero itu berlalu-lalang di depan mata saya setiap hari.

Setelah saya pikir-pikir, superhero sungguhan itu luput dari pandangan saya bukan karena masalah jarak. Toh selama ini mereka ada di dekat saya, bukan nun jauh di New York sana. Mengapa tiba-tiba saya menyebut New York? Cobalah tengok film-film superhero Hollywood, musuh dari berbagai penjuru semesta hobi sekali menyerang kota itu. Alhasil, New York selalu dilindungi oleh para superhero. Kalau begitu, New York tuh sebenarnya kota paling aman atau justru paling berbahaya di dunia ya?

Beranjak dari New York, masalahnya memang bukan jangkauan, melainkan keterbatasan pemahaman saya selama ini tentang kepahlawanan. Wujud pahlawan di benak saya adalah perpaduan antara lukisan Ki Hajar Dewantara dan R.A. Kartini yang dipajang di dinding kelas, gambar tujuh “Pahlawan Revolusi” di buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), laga Power Rangers dan Ksatria Baja Hitam di televisi setiap akhir pekan, jurus Saras 008 dan Panji Manusia Milenium, serta manuver epik superhero Marvel dan DC yang diputar di bioskop.

Mereka disebut pahlawan karena memiliki ciri khas yaitu kostum, kekuatan super, keberpihakan pada yang lemah, dan keberanian untuk berkorban. R.A. Kartini mengenakan kebaya putih dan sanggul, Ksatria Baja Hitam mengenakan kostum gelap dengan helm mirip kepala capung, dan Superman mengenakan setelan ketat berwarna biru dengan huruf “S” di dadanya. Setiap pahlawan memiliki signature style yang membuat mereka mudah dikenali dan terus diingat sepanjang masa.

Seorang pahlawan harus memiliki kekuatan, mungkin tidak perlu super-super amat. Tapi mereka sudah pasti memiliki ‘kelebihan’ dibanding orang lain. Tanpa seorang Ki Hajar Dewantara tidak akan ada dasar-dasar pendidikan bangsa Indonesia dan tanpa Avengers tentunya Thanos akan menguasai dunia. Para pahlawan hadir untuk membela mereka yang lemah dan tidak berdaya. Panji Manusia Milenium membantu polisi menangkap para penjahat yang merugikan masyarakat dan Batman menolong warga Gotham yang menjadi korban praktik politik pejabat kotor. Nyaris tidak ada pahlawan yang tidak memiliki keberanian untuk melawan, dan itulah kekuatan super mereka yang sebenarnya.

Konsep pahlawan yang kita kenal selama ini adalah kepahlawanan ideal (ideal heroism). Pahlawan adalah sosok ideal yang menjadi panutan semua orang. Seseorang dijuluki pahlawan jika ia memenuhi standar kepahlawanan yang diakui bersama yaitu kuat, tangguh, berjiwa penolong, rela berkorban, dan berjasa besar bagi sesama. Berdasarkan standar itu, upaya saya menyelamatkan anak kucing di tengah jalan tidak bakal diperhitungkan sebagai aksi kepahlawanan (mungkin saya hanya akan dianggap sebagai penyayang binatang atau malah orang kurang kerjaan).

Kepahlawanan adalah sifat terbaik manusia, tapi apakah ia harus selalu diidentikkan dengan tindakan besar?

Wacana kepahlawanan merebak di dunia nyata seiring dengan kemunculan musuh global bernama COVID-19. Media-media Indonesia memberitakan tenaga medis yang bertugas di tengah pandemi sebagai pahlawan garis depan. Berbagai kampanye di media sosial menyerukan dukungan untuk mereka yang bekerja di luar rumah. Ungkapan terima kasih lewat beragam iklan juga dipersembahkan kepada masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan dan tetap berada di rumah. Rasanya tidak berlebihan untuk menyebut siapa pun yang berupaya mengalahkan pandemi sebagai pahlawan.

Penganugerahan gelar pahlawan biasanya membutuhkan banyak pertimbangan. Ada tinjauan khusus yang dilakukan untuk menilai seperti apa dan seberapa besar sumbangsih orang tersebut bagi komunitasnya, belum lagi dukungan keterangan dari berbagai pihak sebagai saksi yang menjustifikasi jasa-jasa orang itu. Hingga akhirnya gelar pahlawan resmi diberikan pemimpin negara kepada orang tersebut. Penganugerahan pun biasanya terjadi setelah sang pahlawan mangkat. Akhir-akhir ini, gagasan pahlawan menjadi lebih cair. Aksi-aksi altruistik di tengah pandemi, meskipun tidak sehebat aksi Iron Man merebut infinity stones dari tangan Thanos, juga layak disebut sebagai tindakan kepahlawanan.

Menyepakati sesuatu bukanlah perkara mudah. Namun, belakangan masyarakat Indonesia dapat dengan mudah bersepakat menganugerahkan gelar pahlawan pada orang-orang yang, secara langsung maupun tidak, menyelamatkan nyawa orang lain, bahkan termasuk nyawa kita sendiri. Kalau mau mencari hikmah di balik musibah COVID-19, saya rasa kesepakatan inilah salah satunya.

Kepahlawanan pada hakikatnya bersifat situasional. Situasilah yang membuat seseorang menjadi pahlawan, bukan sebaliknya. Situasi pandemi melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang dekat dengan kita. Sebelum pandemi, petugas medis, tukang bersih-bersih, dan satpam hanyalah orang-orang yang menjalankan profesinya. Sama seperti kita, mereka adalah orang-orang biasa. Namun, saat COVID-19 melanda, mereka mengerjakan lebih dari yang dituntut oleh profesi mereka. Dalam perjanjian kerja mereka tidak tertera pernyataan “Bersedia mengambil risiko bagi orang asing” secara terang-terangan, tetapi mereka tetap menjalankan tugas. Saya kira, itulah yang dinamakan kepahlawanan sejati (genuine heroism).

Lalu, jika dalam kondisi ini semua orang bisa jadi pahlawan, mengapa saya tidak? Ini berkaitan dengan efek pengamat (bystander effect), yaitu anggapan bahwa akan ada orang lain yang mengatasi masalah tersebut, “Nanti pasti ada yang bantu, bukan gue tapinya.” Kita merasa tidak mampu atau bahkan tidak layak membantu menangani masalah dan mengharapkan kehadiran orang lain yang lebih layak dan sanggup membantu. Di tengah pandemi ini, logika “nanti juga ada yang nolongin” sama mematikannya dengan jentikan jari Thanos. Kalau saat ini semua orang mengalami bystander effect, lenyap sudah penduduk bumi.

Pahlawan sejatinya bukanlah orang istimewa. Mereka adalah orang-orang yang berhasil melewati pergumulan psikologis yang berpotensi menghentikan tindakan. Mereka mampu mengatasi ketakutannya dan melakukan sesuatu. Kesempatan untuk bertindak heroik tidak selalu hadir dalam hidup kita. Jika pandemi ini adalah momentum bagi Anda untuk bertindak, bertindaklah. Tidak perlu sampai mempertaruhkan nyawa, cukup bangunkan saja pahlawan yang tertidur dalam diri Anda. Niscaya Anda sudah bergabung di medan perang bersama para superhero untuk melawan Corona dan menyelamatkan Indonesia, bahkan dunia.

“Avengers… Assemble!”

*Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya. Suka mencermati dan mengkaji budaya populer, gender, dan seksualitas di waktu luangnya.

Share: Bangkitnya Superhero Kami