Isu Terkini

Bagaimana Tim Medis Bisa Berperang Kalau Alat Tempurnya Kurang?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Persediaan Alat Pelindung Diri (APD) di berbagai rumah sakit di Indonesia tak memadai untuk penanganan wabah COVID-19. Keterbatasan itu akhirnya membuat banyak tenaga medis memakai APD darurat seperti jas hujan. Mereka yang berjuang di garis depan pun harus bertaruh nyawa. Tugas memanggil, risiko terjangkit kian tinggi.

Hingga Kamis (26/03/20) sore, kasus pasien positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 893 orang, dengan jumlah yang sembuh 35 orang, dan meninggal 78 orang. Laju kematiannya mencapai 8,73 persen.

Peningkatan pesat jumlah kasus positif COVID-19 di tanah air tentu saja harus diimbangi dengan fasilitas kesehatan yang memadai. Bagaimana bisa tenaga medis akan tenang bekerja menangani pasien COVID-19, di saat keamanan dan kesehatan mereka sulit dijamin?

Inggried Yuniartha, Petugas Laboratorium di RS Hermina Grand Wisata, Jakarta, turut merasakan keterbatasan itu. Sekalipun tak bertugas di ruang isolasi,  baginya APD tetap penting untuk mencegah paparan virus SARS-CoV-2.

“Saya petugas laboratorium, jadi saya cuma pakai APD pas ambil sampel pasien suspek atau dalam pengawasan saja. Lama pemakaiannya tergantung dengan jumlah pasien yang harus dites, biasanya saya ambil sampel paling lama satu jam per pasien,” kata Inggried saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (25/03).

Namun, lanjut Inggried, untuk perawat penanggung jawab yang berjaga di ruang perawatan, pemakaian APD mungkin bisa mencapai tujuh jam lebih. Ia mengaku agak sulit untuk makan atau minum saat bertugas dan dalam kondisi mengenakan pakaian lengkap APD.

“Terutama kalau mau salat, ya, karena APD itu sekali pakai. Apalagi kalo kita mau ke kamar mandi untuk buang air kecil. Jujur, untuk memakai APD-nya saja cukup ribet. Dalam waktu dua jam saja rasanya bawaannya udah haus, karena benar-benar pengap rasanya,” ujarnya. Tekanan itu ditambah keharusan untuk tak menyia-nyiakan cadangan APD yang memang tak memadai.

Kelangkaan ini tak hanya terjadi di Indonesia. Dilansir dari Bloomberg, Sabtu (21/03), di sejumlah rumah sakit di Spanyol, para dokter dan perawat menggunakan kantung sampah di sekitar lengan mereka saat bersiap menangani pasien COVID-19. Mereka terpaksa menggunakan kantong plastik sebagai pengganti APD.

Selain itu, kaca mata medis yang mereka pakai kualitasnya sangat buruk. Kondisi itu membuat tim medis akhirnya kesulitan untuk bisa melihat dengan jelas. Seorang perawat berusia 52 tahun bernama Samantha Gonzalez mengatakan bahwa satu-satunya cara melihat denyut atau pembuluh pasien virus corona adalah dengan merabanya.

“Ini perang. Bukan lagi hal normal,” kata Gonzalez.

Sementara itu, dikutip dari CBS News, Rabu (25/03), Michelle Gonzalez, seorang perawat di Unit Perawatan Intensif di Montefiore Medical Center New York, Amerika Serikat, mengatakan: “Saya pulang kerja dan telanjang di lorong. Saya meletakkan semua pakaian di tas dan tidak menyentuh apa pun. Tidak peduli apa yang dikatakan rumah sakit, kita tahu kita harus melepasnya dengan hati-hati dan meletakkan pakaian itu jauh-jauh,” kata Gonzalez.

“Ini tingkat ketidaknyamanan yang lain. Tidak ada yang memikirkan kita,” ujarnya.

Asosiasi medis menetapkan standar bahwa setiap pekerja medis yang menangani kasus COVID-19 harus memakai sarung tangan, gaun, kacamata, pelindung wajah sekali pakai, dan juga masker N95. Namun, kekurangan perlengakapan membuat banyak RS terpaksa memakai masker bedah yang lebih longgar.

Prajnya Paramitha, seorang dokter di RSCM Jakarta, berkomentar tentang kelangkaan APD. “Otomatis kita pasti akan nahan untuk biar nggak makan, minum, dan nggak pipis, apalagi yang bisa pakai empat hingga tujuh jam. Agar APD nya itu nggak terbuang sia-sia,” ucapnya. “Kadang-kadang biasanya setiap empat jam baru kita ganti, tapi ada juga yang seharian penuh akhirnya terpaksa pakai itu. Padahal itu kan kita berisiko untuk menularkan. Jadi bukan hanya tertular ke kita sendiri, tapi juga menularkan ke pasien yang lain juga,” ujarnya.

Dalam kondisi darurat, Nia menyebut ada juga tim medis yang akhirnya pakai jas hujan untuk menggantikan baju hazmat. Katanya, itu lebih baik daripada tidak ada. “Kalau bicara penularan ini, salah satunya melalui droplets infection atau percikan. Jadinya otomatis air dari percikan itu tidak akan bisa tembus melewati jas hujan. Asal pemakaiannya benar dan tertutup rapat. Akhirnya, jas hujan dijadikan alternatif di saat rumah sakit memiliki stok APD yang terbatas.”

Share: Bagaimana Tim Medis Bisa Berperang Kalau Alat Tempurnya Kurang?