Budaya Pop

Bagaimana Bandcamp Membantu Musisi Menghadapi Pandemi

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Ketika lampu panggung padam, venue menutup pintu, dan festival gulung tikar, musisi di seluruh penjuru dunia kocar-kacir. Bagi banyak musisi independen, konser dan tur masih menjadi sumber pemasukan utama untuk menghidupi personil band dan krunya. Akibat pandemi, industri musik global diprediksi merugi hingga 9 miliar dollar AS.

Di tengah paceklik tersebut, Bandcamp menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi ribuan musisi independen mancanegara. Sejak Maret silam, sebulan sekali platform musik digital tersebut tak mengambil jatah potongan dari transaksi jual-beli musik yang terjadi di situsnya. Selama satu hari Jum’at setiap bulannya, seratus persen keuntungan dari penjualan musik di Bandcamp dikantongi oleh para musisi.

Para pengguna Bandcamp pun menyambut momentum tersebut dengan ramai-ramai membeli musik serta mendukung musisi favorit mereka. Kali pertama Bandcamp mendonasikan jatah keuntungannya pada 20 Maret lalu, mereka mencatat transaksi pembelian musik dan merchandise senilai 4.3 juta dollar–15 kali lipat transaksi di hari biasa. Sebulan kemudian, angka itu naik jadi 7.1 juta dollar dalam sehari.

Bulan Juni lalu, sebagian dari transaksi 4.8 juta dollar yang berseliweran di hari spesial tersebut didonasikan ke organisasi-organisasi yang berjuang di isu kesetaraan ras dan hak sipil. Bandcamp pun mengumumkan bahwa seluruh jatah pemasukan mereka setiap tanggal 19 Juni–hari penting dalam peringatan gerakan anti-rasisme di AS–akan didonasikan untuk lembaga-lembaga yang melawan diskriminasi.

Sejak lama, Bandcamp memang dikenal sebagai platform musik digital yang lebih ramah terhadap musisi. Potongan mereka untuk pembelian musik tertentu, misalnya, “hanya” 10-15 persen. Perhitungan ini terbalik dengan layanan streaming seperti Spotify. Laporan The New York Times memperkirakan bahwa setelah dipotong jatah Spotify dan label besar, royalti yang diterima musisi dari Spotify hanya 10-15 persen dari keseluruhan pemasukan.

“Buat gue, model itu seharusnya diikuti oleh layanan distribusi musik digital lainnya,” ucap Marcel Thee, musisi independen yang berkarya di Sajama Cut, Strange Mountain, dan berbagai proyek musikal lainnya. “Tentu saja musisi dan orang kreatif yang menghasilkan karya harus mendapatkan jatah pemasukan terbanyak dari karya tersebut. Bukan penyedia layanan streaming-nya.”

Bandcamp memungkinkan musisi lokal seperti Marcel untuk menjangkau audiens global dan menuai pemasukan pasif–bahkan di tengah pandemi. Ia memperkirakan bahwa tiap bulannya, ia bisa mendapat pemasukan bersih 300-500 dollar AS.

Angka bulanan tersebut jauh di atas pemasukan dari royalti streaming, bahkan royalti album fisik. Salah satu band level menengah yang berbasis di Ibukota, misalnya, mengaku hanya meraup keuntungan sekitar Rp300 ribu dalam waktu lima bulan dari streaming Spotify.

“Memang itu nggak bikin gue jadi rock star kaya raya, tapi itu cukup untuk menghidupi musik gue,” bebernya. “Dan pemasukan segitu gue dapat dari musik yang sangat segmented dan tidak dipromosikan secara luas.”

Namun, tak semua musisi lokal berhasil menuai perhatian pecinta musik mancanegara. Band-band independen, bahkan yang memiliki basis audiens loyal sekalipun, masih amat bergantung pada pasar lokal. “Di Indonesia, Bandcamp masih diragukan efektivitasnya,” ucap Daffa Andika, pendiri label rekaman Kolibri Rekords. “Metode pembayarannya hanya menggunakan Paypal, sementara buyer lokal belum familiar dengan layanan tersebut.”

Meski mereka memiliki pendengar setia, mengusung band-band muda dan segar seperti Grrrl Gang dan Bedchamber, serta rutin merilis kompilasi musik sepanjang pandemi, Kolibri mengaku pemasukan dari Bandcamp masih belum signifikan. “Hampir seratus persen pemasukan kami masih dari penjualan CD fisik,” ucap Daffa. “Mungkin di pasar lokal, kultur membeli musik secara digital belum terlalu terbentuk.”

Bandcamp memang belum serta merta menjadi solusi untuk membantu musisi lokal, tetapi praktik bisnis mereka dapat menjadi acuan bagi industri musik lokal di masa depan. “Sejak streaming mulai marak lima tahun terakhir, daya tawar musisi makin kecil karena konsumen sudah bergeser ke streaming,” ucap pengamat industri musik Argia Adhidhanendra. “Musisi seolah tak punya pilihan lain selain menghamba pada Spotify.”

Prakarsa seperti Bandcamp, menurutnya, dapat menjadi “pemutus rantai” tersebut. “Walau hanya sehari, paling tidak kita kembali pada keadaan yang seharusnya,” tutur Argia. “Musisi kembali diuntungkan atas karyanya dan tidak sekadar dikomodifikasi.”

“Gue harap ada orang Indonesia yang bikin inisiatif kayak Bandcamp,” ucap Marcel. “Karena gue rasa platform yang langsung menghubungkan pendengar dengan musisi menarik banget.” Dengan relasi langsung itu, menurutnya, musisi muda yang tinggal jauh dari kota besar pun dapat menemukan audiensnya di pasar lokal maupun global. “Minimal, mereka jadi bisa menambal ongkos produksi musiknya sendiri.”

Argia mengamini pendapat tersebut. “Inisiatif seperti ini akan sangat membantu musisi, bahkan seluruh industri musik,” ucapnya. “Infrastruktur industri musik kita bobrok sekali. Bila tidak ada inisiatif di mana pelaku industrinya diberi dukungan langsung, bisa-bisa industri kita akan mundur lima tahun.”

Beberapa Rilisan Musisi Lokal yang Layak Diintip di Bandcamp

Grrrl Gang – Here to stay!

Kompilasi ini adalah cara termudah mendalami diskografi Grrrl Gang, grup indie pop paling “panas” di kancah musik lokal. Mereka adalah soundtrack sempurna untuk kegembiraan, kegetiran, dan kebingungan masa remaja.

BAPAK – JON DEVOIGHT / PITY ME

Dalam setiap karyanya, Kareem Soenharjo mementahkan ekspektasimu. Sukses dengan alter ego hip hopnya, BAP., ia justru banting setir dengan menghasilkan musik experimental rock ugal-ugalan yang terdengar seperti perpaduan antara Lightning Bolt dengan adegan tabrakan mobil. Tarik napas panjang dan dengarkan.

Rollfast – Grand Theft Atma

Puasa berkarya beberapa tahun, grup asal Bali ini mengobrak-abrik gaya psychedelic rock mereka dengan memasukkan unsur free jazz serta selipan gamelan Bali. Jika Amon Duul disuruh berkolaborasi dengan penari kecak, kira-kira begini hasilnya.

Pullo – A Dark Belief

Grup post-punk kebanggaan Medan ini menyajikan lima lagu yang kelam, mencekam, tetapi masih nikmat untuk diajak berdansa resah. Siapkan pemulas wajah berwarna hitam dan tancap gas menuju pemakaman favorit Anda, sebab kita hendak menuju arena goth.

Zoo – Khawagaka

Untuk album keempatnya, band asal Yogyakarta ini sampai menciptakan aksara dan bahasa sendiri. Nyalakan dupa dan nikmati salah satu album terbaik Indonesia dalam 3-4 tahun belakangan.

Share: Bagaimana Bandcamp Membantu Musisi Menghadapi Pandemi