General

Asumsi Bersuara: Akankah Jokowi Menjadi SBY atau Megawati?

Aurelia Vizal — Asumsi.co

featured image

Pada Minggu, 16 Juni 2019, presiden terpilih Joko Widodo menghadiri halalbihalal para aktivis 98 di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan bahwa ia sudah tidak punya beban untuk periode kedua kepemimpinannya. “Jadi, keputusan-keputusan yang miring-miring, yang penting untuk negara ini, akan kami kerjakan karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa,” katanya.

Mungkin Jokowi tak lagi memiliki utang politik kepada partai politik pengusungnya. Ia juga tak akan mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Namun, sebagai penguasa, tindakan politik apa yang dapat Jokowi ambil kini?

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dalam “Asumsi Bersuara with Rayestu” mengatakan bahwa Jokowi bisa saja menjadi sutradara politik. “Meskipun secara sistem Joko Widodo akan turun 5 tahun ke depan, tapi perannya masih sangat kuat apabila beliau berhasil menjadi sutradara politik,” katanya dalam episode berjudul “Dari Kabinet Zaken Sampai Survei Pesanan” tersebut.

Toto, sapaan akrabnya, juga menambahkan bahwa Jokowi dapat belajar dari kiprah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap partainya selepas ia menjadi presiden Indonesia. “Dulu, pada 2009, orang sempat menyangka SBY akan menjadi sutradara yang sedemikian rupa. Kegagalan politik terbesar SBY adalah ia tidak bisa menyiapkan penerusnya. Dia gagal menjadi sutradara yang menyebabkan wibawa politiknya sejak 2011 menurun. Terbaca dari rating dan terbaca dari konflik yang terjadi di koalisi dan internalnya sendiri.”

Catatan Penting Partai Demokrat

Disahkan sebagai partai politik pada 2003, Partai Demokrat bisa dibilang sebagai partai “monster rookie”, di mana partai baru ini berhasil membangun citra yang baik. Buktinya: raihan suara pada Pemilu 2004, yaitu hampir 8,5 juta. Dengan suara sebanyak itu, Partai Demokrat berhasil mendapatkan 57 kursi di Senayan. Partai Demokrat pun berhasil masuk dalam 5 besar partai politik yang menduduki kursi DPR bersama partai-partai lama, seperti PDIP, Golkar, dan PPP.

Partai Demokrat seakan meluncurkan strategi double kill dalam Pemilu 2004. Calon presidennya, SBY, berhasil menjadi presiden terpilih pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Kala itu, Jusuf Kalla mendampinginya sebagai wakil presiden.

SBY kembali terpilih untuk periode kedua pada 2009. Maju bersama Boediono, ia menang telak dengan total suara 60,8%. Lawannya, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya meraih 26,79%. Wakil SBY pada periode pertama, Jusuf Kalla, mencoba peruntungan menjadi presiden bersama Wiranto tapi hanya berhasil meraih 12,41% suara.

Perolehan kursi Partai Demokrat pun melonjak tajam. Sebanyak 150 kursi berhasil diraih Partai Demokrat di DPR. Alhasil, Partai Demokrat jadi partai nomor satu di lembaga legislatif tersebut dengan total presentase suara sebanyak 20,84%.

Namun, kekuatan SBY memudar pada periode kedua kepemimpinannya. Partai Demokrat mulai diterpa kasus-kasus hukum yang. Beberapa kader pentingnya berurusan dengan KPK, antara lain Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan Nazaruddin. Ketiganya disebutkan memiliki “peran” dalam pembangunan wisma atlet di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Bahkan nama anak SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas, juga disebut-sebut dalam kasus tersebut.

Seiring dengan kasus korupsi yang menerpa Demokrat, elektabilitas pun menurun drastis. Pada Pemilu 2014, ketika SBY sudah tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden, Partai Demokrat hanya memperoleh 10,19% suara atau  setengah dari perolehan Pemilu 2009. Calon presiden-wakil presiden yang didukungnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, juga kalah dari Jokowi.

Menjelang SBY turun dari jabatan Presiden RI, tagar #ShameOnYouSBY juga sempat meramaikan jagat Twitter. Pada September 2014, rapat pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah digelar di Indonesia. Kader Partai Demokrat yang dipimpin sang ketua fraksi, Nurhayati Assegaf, keberatan dengan regulasi yang menyebutkan bahwa kepala daerah akan dipilih oleh DPR RI, bukan dipilih secara langsung.

Tagar tersebut tak hanya bertengger di daftar Trending Topics Indonesia, tapi juga dunia. Setelah menjadi topik teraktual dalam 48 jam, tagar tersebut hilang dari Twitter. Berbagai pernyataan SBY pasca turunnya dari jabatan yang sudah ia emban selama 10 tahun itu juga sering menuai kontroversi.

Lain Lagi dari Megawati

Megawati Soekarnoputri hanya menjabat selama tiga tahun, setelah mandat Gus Dur sebagai presiden dicabut oleh MPR RI.

Mega mencoba lagi peruntungannya menjadi presiden dalam Pemilu 2004 dan kalah dari SBY. Namun, alih-alih berhenti, dia tetap menjadi ketua umum PDIP dan berkiprah melalui partainya. Bisa dilihat dari kursi yang diperoleh PDIP dari Pemilu 2004, sebanyak 109 kursi (19,82%) menjadikan PDIP masuk sebagai 5 besar partai politik di DPR.

Pada Pemilu 2009 dan 2014, PDIP juga masih menduduki posisi 3 teratas untuk perolehan kursi terbanyak di DPR. Dengan adanya “kebiasaan” politik Indonesia yang erat dengan politik penokohan, bisa dikatakan bahwa prestasi PDIP tersebut tak lepas dari peran sang ketua umum.

Belum lagi raihan cemerlang PDIP yang berhasil membawa Jokowi menjadi Wali kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian presiden untuk dua periode. Itu juga bisa dikatakan tak lepas dari campur tangan Mega sebagai “sutradara” politik meski sudah tak menjadi orang nomor satu Indonesia.

Pertanyaannya, akankah Jokowi menjadi SBY atau Megawati ketika ia sudah tak lagi menjadi presiden?

Share: Asumsi Bersuara: Akankah Jokowi Menjadi SBY atau Megawati?