Budaya Pop

Asal-usul Penderitaan

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Beberapa jam setelah tulisan pertama saya untuk Asumsi terbit, saya menerima pesan WhatsApp dari Zen RS. Katanya, kalau saya berhasil menulis kolom mingguan selama setahun tanpa ada yang terlewat, dia bakal membelikan sesuatu. Sesuatu, kata yang dipilihnya, mungkin saja berarti obat nyamuk bakar, maka saya tak merasa terbebani. Yang mengganggu pikiran saya adalah kalimat berikutnya. “Aku pernah dikoyak-koyak deadline seminggu satu tulisan,” kata Zen.

Kesempatan memperoleh obat nyamuk bakar itu menguap pada pekan kedelapan alias dua minggu lalu. Saya berada di Luwuk, sebuah kota kecil yang indah di ujung timur Sulawesi, untuk mengoceh tentang kepenulisan di depan banyak orang, tetapi benar-benar tidak tahu harus menulis apa untuk ruang yang dipercayakan sepenuhnya kepada saya. Sehari, dua hari–kembali ke Jakarta–seminggu… beban makin menumpuk, saya tetap tak kuasa. Hari ini, pekan kesepuluh, ada tiga draf tulisan terbuka di layar dan semuanya mampat. Langit makin terang dan pandangan makin buram.

Segenap tulang, otot, dan saraf pada jari-jari kita sudah lebih dari cukup untuk menulis apa saja, kata Wislawa Szymborska dalam sebuah puisinya. Saya pernah mengutip kata-kata itu, dengan kepercayaan diri berlimpah, untuk menjawab pertanyaan tentang writer’s block dalam sebuah wawancara. “Seperti dosa,” kata saya waktu itu, “ia hanya ada kalau kita memikirkannya.”

Tak ada yang berubah dalam cara saya bekerja. Setiap tulisan berangkat dari ikhtisar. Saya memecah pokok pembicaraan menjadi balok-balok kecil, membayangkan pilar dan kamar, lalu mengatur penempatan setiap balok agar kelak ia menjadi bangunan yang kokoh, molek, sekaligus nyaman.

Saya mengawali rancangan tulisan yang pertama, tentang kekuatan cerita, lewat sebuah peribahasa populer “satu gambar bernilai setara seribu kata.” Kita sering mendengar bahwa kata-kata itu berasal dari Konfusius, atau siapalah orang bijak lain dari Cina Kuno, kan? Saya mengira atribusi itu wajar, sebab memang ungkapan tersebut terasa antik: ia ringkas, gampang dipahami, dan menggunakan kata “seribu” semau-maunya–seperti Lawang Sewu, Candi Sewu, dan lagu Didi Kempot “Sewu Kuto.”

Rupanya, menurut Burton Stevenson dalam buku The Home Book of Proverbs, Maxims, and Familiar Phrases, ungkapan itu mula-mula digunakan sebagai trik pemasaran iklan bergambar pada awal abad ke-20, tak lama setelah kamera-kamera murah menyerbu pasar dan fotografi jadi bisa diakses semua orang.

Sampai di situ uraian mandek karena saya tak kunjung menemukan cara yang pas untuk mengaitkannya dengan pokok pembicaraan.

Untuk tulisan kedua, tentang kesempatan para penulis mendapat penghasilan dari luar industri buku, saya benar-benar menjumput bahan dari Cina Kuno, tepatnya dari abad ke-3 SM: Perdana Menteri Lü Buwei dari kerajaan Qin menghimpun ribuan sarjana untuk menuliskan kitab berisi “segala urusan Langit dan Bumi, hal-hal tak tepermanai, masa lalu dan kini” alias semacam kombo maut buku RPUL, pengantar ilmu pemerintahan, dan astrologi.

Hasil proyek ambisius itu sewajarnya sempurna. Dan buat membuktikannya, Perdana Menteri Lü menawarkan seribu keping emas kepada siapa pun yang sanggup menyunting Lüsi Chunqiu, meski hanya menambahkan atau mengurangi satu huruf.

Untuk menciptakan kontras, saya iseng-iseng menghitung waktu yang diperlukan teman saya Safar Banggai buat mengumpulkan seribu keping emas dengan pekerjaannya sebagai editor lepas di Yogyakarta. Begitu hasilnya keluar, yaitu 308 tahun saja, segenap rancangan yang terpacak dalam kepala saya roboh. Mungkin Safar membuat saya jadi agak putus asa, tetapi mungkin juga tak ada hubungan apa-apa di antara keduanya. Satu-satunya yang terang ialah saya tak sanggup meneruskan cerita.

Kebuntuan demi kebuntuan itu membuat saya merasa gagal sebagai penulis. Namun, seperti mata yang dapat membedakan terang dari gelap, menyadari kegagalan berarti menyadari pula bahwa di sisi yang berlawanan, di seberang sana, ada keberhasilan. Keberhasilan, kata orang, ialah kesanggupan memenuhi tujuan. Tetapi apa, sih, tujuan orang menulis?

Saya senang membayangkan bahwa saya menulis untuk meneruskan kebaikan buku-buku yang pernah saya baca. Ada harapan kelak, entah di mana, tulisan-tulisan saya menyentuh seseorang dan mengubah caranya memandang dunia, sebagaimana novel-novel Hemingway dan Camus, misalnya, pernah menyadarkan saya bahwa dalam hidup ini orang harus bertahan meski tahu pada akhirnya akan kalah.

Namun, kalau benar-benar menginginkan hal itu, semestinya saya lebih giat mencari pembaca, sebanyak-banyaknya. Beberapa teman penulis menyarankan agar saya mencari penerjemah, mengirimkan karya ke media-media berbahasa asing, dan seterusnya, dan seterusnya. Saya tak berminat menjalani urusan-urusan itu karena tahu tak bakal menderita seandainya harapan itu tidak terwujud. Ada banyak sekali buku hebat di dunia ini, dan kalau itu tak cukup untuk menyentuh dan mengubah cara orang memandang dunia, atas dasar apa saya merasa dapat memperbaiki keadaan?

Lagi pula, kata Schopenhauer dalam The Art of Being Right”, kalau seseorang menyadari bahwa pendapatnya berbeda dari orang lain, hal pertama yang ia lakukan bukanlah mencari kesalahan dalam proses berpikirnya sendiri, melainkan menganggap lawan bicaranya keliru. Sebaliknya, kalau menemukan pandangan yang sejalan dengan miliknya, meski melenceng, orang akan dengan senang hati turut memeluknya.

“Pada dasarnya,” kata Schopenhauer, “kita ini keras kepala.” Tetapi dia, juga saya, percaya bahwa orang dapat berubah. Jika Schopenhauer yakin bahwa filsafat membukakan jalan bagi belas kasih, dan belas kasih melahirkan penerimaan, saya percaya bahwa hasil yang sama dapat dilahirkan oleh tulisan-tulisan yang baik.

Tetapi tulisan tak sepatutnya dibuat dengan tujuan mengubah orang. Saya baru menyadari bahwa itulah sumber penderitaan saya dalam tiga pekan belakangan. Kelewat ingin menyampaikan bermacam-macam urusan, saya lupa bahwa aturan utama dalam menulis bukanlah menanamkan ide di kepala orang.

Kata George Saunders, yang tulisan-tulisannya senantiasa penuh empati dan memancarkan harapan dalam situasi segelap apa pun, selagi menulis dia cuma berpikir untuk mengurangi keburukan tulisannya. Kalau ada kalimat sembrono, ia membuatnya lebih kaya. Kalau ada karakter yang terkesan cuma seperti setan, ia memberinya kepribadian dan latar belakang. Begitu terus, kata Saunders, sampai alat ukur imajiner dalam kepalanya menunjukkan bahwa ia sudah menulis sebaik yang ia bisa.

Bukan kali ini saja kata-kata Saunders menyentuh dan mengubah cara berpikir saya. Kalau suatu hari nanti kami bertemu, saya hendak mengucapkan terima kasih dan memberinya oleh-oleh, tapi tentu bukan obat nyamuk bakar.

Share: Asal-usul Penderitaan