Isu Terkini

Apakah Kartu Prakerja Menyediakan Jaring Pengaman yang Tepat?

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Dalam rangka merespons krisis yang disebabkan COVID-19, pemerintah mengubah haluan Kartu Prakerja. Program yang semula ditujukan sebagai upaya peningkatan kapasitas angkatan kerja itu kini diarahkan sebagai instrumen jaring pengaman sosial (social safety net) untuk meringankan beban hidup dan mendongkrak daya beli masyarakat.

Pemerintah menggandeng delapan platform digital atau start up sebagai mitra untuk menjalankan program pelatihan tersebut, yakni Tokopedia, Skill Academy by Ruang Guru, Maubelajarapa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijarmahir dan Sisnaker.

Lewat program ini, pemerintah menganggarkan Rp20 triliun dengan rincian biaya pelatihan Rp5,6 triliun; dana insentif Rp13,45 triliun; dana survei Rp840 miliar; dan dana PMO Rp100 juta. Totalnya naik dua kali lipat dari anggaran semula, Rp10 triliun.

Dana pelatihan Rp1 juta per orang akan digunakan untuk membayar pilihan program pelatihan yang disediakan mitra. Para peserta juga akan mendapatkan insentif Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan setelah menyelesaikan pelatihan online tersebut. Terakhir, perserta akan diberikan Rp50 ribu selama 3 kali untuk setiap survei usai pelatihan. Seluruh uang insentif yang diterima peserta akan masuk ke dompet elektronik pilihan peserta masing-masing.

Namun para pakar menilai, selain kurang secara jumlah dan kerap mengalami permasalahan teknis, pengalihan haluan Kartu Prakerja pada masa pandemi COVID-19 ini justru dinilai merugikan masyarakat. Pasalnya, banyak anggaran yang justru mengalir ke perusahaan start up yang menjadi mitra, berpotensi salah sasaran, dan meleset dari prioritas: mengisi perut kosong.

Dilansir CNN Indonesia, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, “Menurut saya ini masyarakat justru dirugikan. Kan, itu ditunjuk kepada start up, aplikator, untuk melakukan di dalamnya pelatihan; pendidikan. Apalagi 1 juta dikalikan 5,6 juta sekitar Rp5,6 triliun itu.” Lagipula, menurutnya, tidak semua daerah yang warganya disasar Kartu Prakerja mempunyai akses internet memadai.

Ahli Kesejahteraan Sosial dari Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, menyarankan pemerintah untuk menggandeng universitas di daerah untuk melakukan pengawasan serta memastikan program bisa sampai ke sasaran yang tepat.

“Pemerintah pusat dan daerah bisa bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat. Dalam hal ini, bisa bekerja sama dengan institusi perguruan tinggi di daerah, di mana mereka bisa jadi evaluator–yang mengevaluasi pelaksanaan Kartu Prakerja ini–sehingga kegiatan pelatihan dan dana insentif ini bisa terawasi,” kata Syaifudin

Mengenai program Kartu Prakerja, ia menyarankan tidak perlu ada pengubahan mengenai fungsinya yang merupakan pelatihan kerja yang bermanfaat untuk masyarakat.

“Jadi, mereka bisa memiliki satu skill kerja tertentu. Ini bisa dimanfaatkan mereka sebagai modal untuk mencari pekerjaan,” ujarnya.

Namun, alih-alih dijalankan dengan mekanisme seperti itu, ia menekankan agar program ini jangan sampai berjalan secara tumpang-tindih. Ia juga menyarankan untuk menyesuaikan alokasi anggarannya sesuai kebutuhan yang riil.

“Kalau terkait dengan bantuan langsung, kan, sebenarnya sudah ada anggarannya sendiri. Jangan sampai overlapping antara program bantuan langsung pada pandemi COVID-19 ini dengan program Kartu Prakerja,” katanya.

“Memang harus disesuaikan mekanisme pelaksanaan juga mekanisme alokasi penganggarannya. Mana yang harus dikurangi mana yang harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya masyarakat yang rentan dan terdampak pandemi COVID-19 ini,” tambah Syaifudin.

Hingga saat ini, manajemen Kartu Prakerja tidak menjawab permintaan wawancara kami.

Share: Apakah Kartu Prakerja Menyediakan Jaring Pengaman yang Tepat?