Isu Terkini

Apa Kabar RUU Perkelapasawitan yang Ditolak Aktivis Lingkungan Hidup?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Isu kelapa sawit kembali jadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Terutama terkait pernyataan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pun mengecam pernyataan Darmin soal dukungan terhadap studi yang dilakukan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) tentang berbagai kebaikan dari kelapa sawit.

Dalam rilis 4 Februari 2019 lalu itu, Darmin menyebutkan Indonesia memiliki 22,1 juta hektar kawasan hutan yang disiapkan untuk konservasi. Namun, Walhi meragukan jumlah lahan konservasi tersebut. Belum lagi, sejak Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang moratorium kelapa sawit dikeluarkan, aturan dalam PP 104/2015 yang memungkinkan alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan masih memberi ruang bagi perizinan yang diterbitkan sebelum Inpres terbit.

Selain itu, dalam studi tersebut disebutkan bahwa minyak kelapa sawit jauh lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Disebut efisien karena tidak membutuhkan lahan yang luas untuk menghasilkan satu ton kelapa sawit, tidak seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari. Dengan adanya penelitian ini, Darmin berharap bisa melawan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit Indonesia di mata dunia.

Manager Kajian Eksekutif Nasional Walhi, Boy Even Sembiring menyebut pernyataan Darmin tersebut adalah opini yang menyesatkan. Sebab, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpihak pada kepentingan pelaku bisnis industri kelapa sawit. Pemerintah, lanjutnya,   tidak memperhatikan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengalihan area hutan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.

Boy juga menilai pernyataan tersebut juga tidak sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium kelapa sawit, karena dengan adanya pernyataan tersebut, sama saja pemerintah memberikan angin segar bagi pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia.

Baca Juga: Penggunaan Biofuel yang Menggunakan Kelapa Sawit, Demi Masa Depan?

“Kenapa dengan adanya riset IUCN, yang seolah-olah membenarkan kelapa sawit, walaupun ada kerusakannya, kenapa seorang Menteri koordinator memberikan siaran pers yang mendukung ini,” kata Boy Even Sembiring dalam konferesi pers di kantornya, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019,

“Kalau kita lihat sebenarnya siaran pers ini bukan bicara konservasi, bukan bicara penyelematan hutan, bukan berbicara penyelamatan flora dan fauna. Tapi dia sebenarnya bicara untuk melindungi bisnis-bisnis kelapa sawit yang ada di Indonesia.”

“Dan terakhir apa yang disampaikan oleh Darmin ini menjaga semangat Indonesia, melegalkan kejahatan perkebunan kelapa sawit, ada banyak kelapa sawit di kawasan hutan, yang sebenarnya pelanggaran hukum , seharusnya secara jujur dia merespon seperti itu, apalagi Darmin seorang peneliti, akademisi seharusnya enggak patut dia mengeluarkan siaran pers yang penuh kebohongan dan kepalsuan.”

Polemik RUU Perkelapasawitan

Perihal regulasi yang mengatur soal industri perkelapasawitan di Indonesia, sebenarnya sampai hari ini ada Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan. Pihak Walhi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di lingkungan hidup keras menolak keberadaan RUU Perkelapasawitan.

RUU Perkelapasawitan bahkan masih bergulir dan masuk program legislasi prioritas nasional. Pada 10 Juli 2018 lalu, Walhi mengeluarkan pernyataan soal penolakan terhadap RUU tersebut. Bahkan, berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil terus menyuarakan tak perlu ada UU khusus sawit ini, cukup memaksimalkan pelaksanaan UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan.

Bahkan pada akhir Mei 2018 lalu, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Tolak RUU Perkelapasawitan mendatangi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yakni Hermanto, anggota Komisi IV DPR juga anggota Badan Legislasi dan Ledia Hanifa Amaliah, anggota Komisi X, untuk memaparkan identifikasi terhadap RUU ini. Mereka menilai, RUU ini tak menyelesaikan masalah dalam industri perkebunan sawit.

Koalisi ini antara lain terdiri dari Sawit Watch, Elsam, Serikat Petani Kelapa Sawit, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Yayasan Madani Berkelanjutan. Lalu, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI-NU), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Forest Watch Indonesia (FWI).

”RUU Perkelapasawitan tak membahas aspek mendasar dalam tata kelola sawit di Indonesia, khusus kesejahteraan petani dan perlindungan tenaga kerja,” kata Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.

Baca Juga: Salah Kaprah Prabowo Soal Penambahan Jumlah Perkebunan Kelapa Sawit di Debat Pilpres

Menurut Surambo, RUU Perkelapasawitan tersebut malah condong ke kepentingan pengusaha seperti pengaturan keringanan pajak dan keringanan pelaku usaha perkebunan besar yang melanggar aturan. Selain itu, katanya, sebagian besar bab-bab yang ada–13 dari 17 bab–dalam RUU Perkelapasawitan, sudah diatur dalam UU Perkebunan. Alasan ini pula yang jadi dasar bagi pemerintah, menyatakan, RUU ini belum perlu.

Muncul Petisi Tolak RUU Perkelapasawitan

Sekali lagi, koalisi masyarakat sipil mendesak DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan. Mereka menilai tak ada urgensi menerbitkan RUU yang hanya melayani kepentingan pebisnis, bahkan bisa jadi pelindung kejahatan lingkungan dan hak asasi manusia.

Bahkan, sempat muncul petisi menolak RUU Perkelapasawitan di Change.org dengan judul “Tak Pedulikan Petani Kecil, Stop Pembahasan RUU Perkelapasawitan!. Setidaknya ada lima poin penting yang menjadi alasan kenapa RUU Perkelapasawitan harus ditolak dan dihentikan. RUU Perkelapasawitan dinilai cenderung pro-korporasi dan mengabaikan aspek sosial, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

1. Isi RUU sebagian besar “COPAS” alias Copy-Paste dari UU Perkebunan. Hal ini bisa bikin peraturan perundang-undangan jadi tumpang tindih.

2. RUU lebih melindungi kepentingan pelaku industri besar. Korporasi akan mendapat keringanan berupa pengurangan pajak penghasilan dan pembebasan bea dan cukai.

3. RUU berpotensi memperburuk permasalahan yang ada: penguasaan lahan, perampasan tanah, konflik agraria, perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, upah buruh, dan permasalahan lingkungan.

4. RUU tidak berpihak pada kesejahteraan petani kecil dan buruh sawit.

5. RUU mengancam hutan dan gambut Indonesia. RUU Perkelapasawitan dapat menjadi celah bagi perusahaan besar untuk terus membuka lahan perkebunan sawit di lahan gambut.

Share: Apa Kabar RUU Perkelapasawitan yang Ditolak Aktivis Lingkungan Hidup?