Isu Terkini

Angan-Angan dan Kenyataan Pertumbuhan Ekonomi

Pringadi Abdi Surya — Asumsi.co

featured image

Cita-cita pertumbuhan ekonomi 7% yang didengungkan Presiden Jokowi di awal pemerintahan tampaknya telah jadi panggang yang jauh dari api. Tanpa perlu jauh-jauh menengok ketidakpastian global yang dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, usaha menggeret fiskal ke sisi produksi pun belum begitu menampakkan hasil.

Asumsi pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,3% pun diyakini tidak tercapai. Situs Tradingeconomics memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 hanya mencapai 5,2%, dan tumbuh menjadi 5,5% pada tahun 2020. Sedangkan Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,1%, dan tumbuh menjadi 5,2% pada 2020. Sementara itu, World Bank (11/12) lewat kepala ekonomnya merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi hanya 5%, yang sebenarnya juga sudah tertuang dalam East Asia and Pacific Economic Update October 2019: Weathering Growing Risk

Di wilayah ASEAN, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut kalah dibandingkan Kamboja (7%), Vietnam (6,9%), Myanmar (6,6%), Laos (6,2%), dan Filipina (6,0%). Namun, yang perlu dicatat, skala perekonomian Indonesia tak sama dengan negara-negara tersebut, sehingga pertumbuhannya tak bisa dibandingkan.

Indonesia adalah negara anggota G-20. Di antara para anggota G-20, Indonesia hanya kalah dari Cina, yang diproyeksikan tumbuh 6,2%, dan sudah melampaui India yang hanya tumbuh 5%.

Keajekan pertumbuhan ekonomi di atas 5% dalam dua tahun ke depan itu didukung pertumbuhan pendapatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi. Pertumbuhan investasi juga diperkirakan akan tetap kuat, sebagian karena proyek-proyek infrastruktur yang sudah berjalan mulai menghasilkan dampak positif. Hanya, neraca perdagangan bakal tetap mendapat tekanan. Ekspor masih sulit tumbuh, kecuali jika impor semakin dibatasi guna meningkatkan daya saing ekspor, yang tentunya harus didahului perbaikan regulasi dan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekspor.

Sebelumnya, ada beberapa ancaman internal terhadap pertumbuhan ini. Shortfall penerimaan perpajakan diperkirakan melebar. Pelebaran shortfall pajak dapat dilihat dari realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2019 yang hanya mencapai 65,7% atau Rp1.173,9 triliun dari target APBN 2019 sebesar Rp1.786,4 triliun. Hal ini tentu mengecewakan, sebab tema APBN 2019 adalah “Adil, Sehat, dan Mandiri”—dari sisi kemandirian APBN Tahun Anggaran 2019, harusnya penerimaan perpajakan tumbuh signifikan sehingga ada kontribusi dominan terhadap pendapatan negara sekaligus mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang.

Hal ini mengancam optimisme pemerintah. APBN 2019 diproyeksikan mengalami defisit sebesar Rp296,0 triliun atau sebesar 1,84 persen terhadap PDB. Dengan nilai itu, rasio defisit anggaran akan menjadi yang terendah sejak tahun 2013. Namun, bila shortfall benar-benar terjadi antara 140-200 triliun, rasio defisit anggaran akan membengkak—meski tetap diklaim aman, yakni di bawah 3% terhadap PDB, seperti yang disyaratkan UU Keuangan Negara.

Namun, sebenarnya, jika yang dihitung adalah rasio utang terhadap PDB, hasilnya 2,257% dengan penerbitan utang baru sebesar 359,3 triliun. Dan hingga Oktober 2019, realisasi utang sudah sebesar 384,5 triliun atau rasio utang terhadap PDB sebesar 2,416%.

Kondisi shortfall tersebut memang tidak begitu membahayakan secara keseluruhan satu tahun anggaran, namun ada dampak negatif berupa penerbitan utang baru di luar rencana untuk mengisi kekosongan kas negara yang ditimbulkannya. Sebab, hingga Oktober 2019, realisasi belanja negara sudah mencapai 73,1%. Ada gap sebesar 8,54% di sana.

Selain itu, niat baik pemerintah merumuskan keseimbangan primer (penerimaan negara dikurangi belanja—di luar pembayaran utang), juga menjadi kabar yang kurang baik. Tadinya, pemerintah menetapkan keseimbangan primer defisit Rp20,1 triliun, atau juga yang terendah sejak tahun 2013. Defisit keseimbangan primer itu muncul sejak 2012 sebagai akibat penetapan strategi kebijakan fiskal ekspansif dalam rangka menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Keseimbangan primer yang mendekati nol itu adalah upaya menjaga keberlanjutan fiskal. Penurunan keseimbangan primer (dari outlook 2018 sebesar Rp64,8 T) menuju positif ini memberikan bukti kuat, sekaligus tengara positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur positif. Namun sayang, realisasinya, hingga Oktober, keseimbangan primer kita telah menyentuh angka Rp68,4 triliun.

Tiga tolok ukur tersebut (penerimaan pajak, defisit anggaran, dan keseimbangan primer) harus stabil untuk mempertahankan kesehatan anggaran suatu negara. APBN kita, dalam konteks perekonomian Indonesia saat ini, sangatlah berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada penyerapan APBN itu dapat dilihat dari efek langsung maupun tidak langsungnya. Secara langsung, dalam pertumbuhan ekonomi, APBN memberikan dampak positif pada komponen G (konsumsi pemerintah) dan investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto—PMTB).

Pengelolaan APBN yang baik juga bisa menciptakan stabilitas keuangan dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Misalnya, yang paling mudah, soal kapan harus mencairkan gaji ke-13. Hal itu juga berkaitan dengan kelancaran distribusi pendapatan dan perluasan kesempatan kerja dari pembangunan proyek-proyek negara dan investasi negara, sehingga dapat membuka lapangan kerja baru dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masih banyak multiplier effect pengelolaan APBN yang baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Tentu kita tetap harus optimistik. Sebagaimana yang tertera dalam asumsi makro APBN 2020, pemerintah tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3%, dengan target keseimbangan primer minus 12 triliun—yang semakin mendekati nol. Begitu pula target defisit anggaran yang hanya 307,2 triliun atau rasionya sekitar 1,76% terhadap PDB.

*Pringadi Abdi Surya adalah penulis dan analis kebijakan publik. Ia mengelola blog https://catatanpringadi.com

Share: Angan-Angan dan Kenyataan Pertumbuhan Ekonomi