Isu Terkini

All England dan Prestasi Bersejarah Indonesia

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sederet pebulutangkis terbaik Indonesia saat ini tengah berjuang di turnamen prestisius All England Open 2019 yang berlangsung di Arena Birmingham, Inggris, mulai dari 6-10 Maret 2019. Sejak pertama bergulir pada 1899 silam, Indonesia sudah mencatatkan namanya sebagai salah satu negara penyumbang gelar juara terbanyak. Di edisi ke-109 kali ini, tim Merah Putih pun bertekad menambah prestasinya.

All England merupakan salah satu kompetisi olahraga tertua di dunia. Jika di cabang olahraga sepakbola ada turnamen Piala FA sebagai kompetisi tertua di dunia sejak tahun 1871 silam, maka di cabor bulutangkis ada All England sebagai kompetisi bulutangkis tertua di dunia. All England pun tumbuh sebagai turnamen paling bergengsi.

All England pertama kali dihelatsebagai turnamen eksebisi, yang terinspirasi dari sebuah turnamen yang diprakarsai Percy Buckley, sekretaris Guildford Badminton Club, pada 10 Maret 1989 di London Scottish Regiment Drill Hall, Buckingham Gate. Gelaran All England itu pun mendorong Badminton Association of England (BAE), federasi bulutangkis pertama dunia yang berdiri 1893, untuk menggelar turnamen yang lebih besar setahun setelahnya.

Pada edisi perdana ini, All England mempertandingkan tiga nomor: ganda putra (dimenangi D. Oakes/Stewart Massey), ganda putri (Meriel Lucas/Mary Graeme), dan ganda campuran (D. Oakes/Daisey St. John). Lantaran kala itu All England masih merupakan turnamen kejuaraan dunia ‘tak resmi’, maka dari itu saat itu para pemenangnya boleh dikatakan sebagai juara dunia.

Dulunya, kejuaraan ini adalah kejuaraan khusus bulutangkis cabang double saja. Namun, kejuaraan ini sempat terhenti saat masa perang dunia. Sebetulnya, tak hanya bulutangkis saja yang terhenti, kompetisi sepakbola dan kehidupan normal pun terhenti pada masa-masa perang tersebut.

Penguasa All England dari Masa ke Masa

Inggris sebagai negara di mana turnamen All England lahir, menempatkan atletnya sebagai penguasa. Nama Sir George Alan Thomas dan Elizabeth “Betty” Uber merupakan dua di antara atlet bulutangkis Inggris yang meraih sukses.  Dulu kala, keduanya berhasil mendominasi turnamen bulutangkis termasuk All England.

Bayangkan saja, Thomas hingga kini masih memegang rekor gelar juara terbanyak di All England dengana catatan 21 gelar di semua nomor (4 gelar tunggal putra, 9 gelar ganda putra, dan 8 gelar ganda campuran). Sementara Uber berhasil mengoleksi total 13 gelar All England (1 gelar tunggal putri, 4 gelar ganda putri, dan 8 gelar ganda campuran).

Perlu diketahui, dominasi Thomas dan Uber ini terjadi pada era di mana semua juara All England berasal dari Eropa. Sejak pertama kali digelar di markas resimen London Scottish pada 1899 hingga tahun 1948 ketika turnamen dihelat di Harringay Arena, hanya ada lima negara yang wakilnya mampu jadi juara. Kelima negara itu adalah Inggris, Swiss, Republik Irlandia, Denmark, dan Swedia.

Baca Juga: Liliyana Natsir dan Hutang Budi Indonesia Padanya

Sementara David Freeman dari Amerika Serikat, bersama Ooi Teik Hock dan Teoh Seng Khoon dari Malaysia, menjadi tiga pebulutangkis yang memutus dominasi Eropa pada gelaran tahun 1949. Menariknya, Freeman dan Teik Hock justru saling mengalahkan di dua nomor berbeda.

Jika Freeman berhasil menang di nomor tunggal putra, maka Teik Hock bersama Seng Khoon berhasil mengalahkan Freeman yang berpasangan dengan Wynn Rogers di nomor ganda putra. Sejak keberhasilan tiga atlet dari dua benua berbeda itu, All England kemudian memiliki banyak juara dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.

Malaysia menjadi negara Asia pertama yang mampu meraih gelar juara All England, khususnya di nomor-nomor yang melibatkan pebulutangkis pria. Bersama atlet-atlet dari Denmark dan Amerika Serikat, Malaysia berhasil membatasi dominasi Inggris di nomor ganda putri saja.

Prestasi Mentereng Indonesia Sejak All England 1959

Tak mau kalah, Indonesia pun perlahan tumbuh sebagai salah satu negara dengan prestasi bulutangkis yang mentereng. Di All England, Indonesia sendiri baru bisa meraih gelar juara pertama pada 1959 melalui aksi pebulutangkis tunggal putra andalan Tan Joe Hok.

Menariknya, gelar Tan Joe Hok itu diraih usai mengalahkan sesama pebulutangkis asal Indonesia, Ferry Sonneville di partai final. Namun, gelar juara Tan Joe Hok sendiri kala itu hanya terasa seperti sebuah kejutan di tengah dominasi Malaysia-Denmark saja, terutama lewat Erland Kops, Eddy Choong, dan Wong Peng Soon.

Lalu, baru pada 1968 Indonesia mampu kembali menjadi juara. Kali ini lewat sang anak emas yakni Rudy Hartono di nomor tunggal putra serta Minarni Sudaryanto dan Retno Koestijah di nomor ganda putri. Ketiganya berhasil membuat Indonesia Raya berkumandang di Wembley.

Pada akhirnya di turnamen All England setelah itu, Rudy Hartono berhasil tampil perkasa dan menjadi juara sebanyak delapan kali sepanjang kariernya. Dengan rincian tujuh gelar di antaranya diraih secara berturut-turut antara 1968-1974.

Sampai sekarang, rekor tujuh kali juara secara beruntun Rudy Hartono itu belum bisa dipecahkan atlet bulutangkis mana pun di dunia. Tak hanya itu saja, delapan gelar juara Rudy Hartono itu juga berhasil mempertahankan rekor yang hingga kini masih belum bisa direbut negara mana pun di luar Indonesia.

Sampai edisi All England 2018 lalu, Indonesia sudah berhasil meraih total 46 gelar juara. Rincian gelar juara tersebut diraih dari semua sektor di antaranya 15 gelar dari tunggal putra, 4 gelar tunggal putri, 20 gelar ganda putra, 2 gelar ganda putri, 5 gelar ganda campuran.

Christian Hadinata dan Ade Chandra tampil sebagai pasangan ganda putra Indonesia yang mengawali dominasi gelar juara tersebut. Meski begitu, keduanya justru bukan yng berkontribusi paling banyak dalam urusan raihan gelar. Justru pasangan Tjun Tjun dan Johan Wahjudi yang berhasil mengoleksi total enam gelar juara yang sekaligus menegaskan keduanya menjadi peraih gelar terbanyak.

Sementara itu, meski sudah berhasil mengangkat trofi untuk pertama kali pada 1968, pebulutangkis putri Indonesia terhitung jarang menjadi juara All England. Setelah Minarni-Retno, Indonesia harus menunggu 11 tahun sebelum Verawaty dan Imelda Wiguna meraih gelar juara pada 1979. Di tahun tersebut, Imelda Wiguna menjadi juara di dua nomor sekaligus, yakni ganda putri dan ganda campuran.

Gelar ganda campuran yang diraih Imelda bersama Christian Hadinata itu pun menjadi yang pertama bagi Indonesia. Lalu, setelah menunggu cukup lama, Indonesia akhirnya baru bisa memiliki sang juara di nomor tunggal putri lewat kontribusi Susy Susanti. Pebulu tangkis yang juga peraih medali emas Olimpiade itu berhasil menjadi juara sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1990-1994.

Namun, empat trofi itu juga menjadi empat trofi terakhir Indonesia di nomor tunggal putri hingga sekarang. Tak ada lagi yang menjadi penerus atau suksesor Susy Susanti di nomor tunggal putri, bahkan tak hanya di All England saja, nyaris di semua turnamen, belum ada yang mewarisi prestasi Susy.

Tak hanya di nomor tunggal putri saja Indonesia sulit meraih gelar juara, bahkan di nomor tunggal putra juga terjadi. Adalah Haryanto Arbi yang terakhir kali meraih gelar juara di nomor tunggal putra pada tahun 1994. Setelah itu, Indonesia harus rela melihat trofi melayang ke tangan para pebulu tangkis China, Denmark, Malaysia, bahkan India.

Bahkan, pebulutangkis tunggal putra andalan Indonesia Taufik Hidayat yang pernah meraih gelar juara Olimpiade 2004 dan juara dunia 2005, tak sekalipun meraih gelar juara di tanah Britania Raya. Sementara untuk nomor ganda campuran, pasangan Praveen Jordan-Debby Susanto berhasil meneruskan tradisi juara dari nomor ganda campuran setelah sebelumnya Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir menjadi juara tiga kali berturut-turut sejak 2012-2014.

Menariknya, keberhasilan Tontowi-Liliyana pada 2012 tersebut berhasil memutus puasa gelar Indonesia di semua sektor yang terjadi selama delapan tahun. Sejak Sigit Budiarto dan Candra Wijaya menjadi juara ganda putra pada 2003, Indonesia sempat tidak mampu mengirim satu wakil pun yang menjadi juara. Meski saat itu Indonesia punya sosok Taufik Hidayat.

Di era sekarang, Indonesia sepertinya bertumpu pada pasangan ganda putra fenomenal Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Di pentas All England, Marcus/Kevin berhasil meraih total gelar juara secara beruntun yakni pada edisi 2017 dan 2018. di All England 2019 ini, Marcus/Kevin harus gugur lebih dulu di babak awal.

Berikut ini adalah daftar pebulutangkis asal Indonesia yang pernah meraih gelar All England:

Tunggal putra
Tan Joe Hok (1959) Rudy Hartono (1968-1974 dan 1976) Liem Swie King (1978, 1979, dan 1981) Ardy Wiranata (1991) Hariyanto Arbi (1993 dan 1994) Tunggal putri Susy Susanti (1990, 1991, 1993, dan 1994)

Ganda putra
Christian Hadinata-Ade Chandra (1972 dan 1973) Tjun Tjun-Johan Wahjudi (1974, 1975, 1977, 1978, 1979, 1980) Rudy Heryanto-Hariamanto Kartono (1981, 1984) Rudy Gunawan-Eddy Hartono (1992) Rudy Gunawan-Bambang Suprianto (1994) Rexy Mainaky-Ricky Subagja (1995, 1996) Tony Gunawan-Candra Wijaya (1999) Tony Gunawan-Halim haryanto (2001) Sigit Budiarto-Candra Wijaya (2003) Mohammad Ahsan-Hendra Setiawan (2014), Marcus Gideon/Kevin Sanjaya (2017, 2018)

Ganda putri
Minarni Sudaryanto-Retno Koestijah (1968) Verawaty-Imelda Wiguna (1979)

Ganda campuran
Minarni Sudaryanto-Retno Koestijah (1968) Verawaty-Imelda Wiguna (1979) Christian Hadinata-Imelda Wiguna (1979) Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir (2012, 2013, 2014) Praveen Jordan-Debby Susanto (2016)

Share: All England dan Prestasi Bersejarah Indonesia