General

Alasan Kuat Gerindra Sebut Pemerintah Ingin Capres Tunggal di Pemilu 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Isu-isu panas terus bermunculan di tahun politik ini terutama jelang menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang. Bahkan, Partai Gerindra tengah mencium adanya upaya agar hanya ada calon presiden (capres) tunggal tahun depan.

Gerindra khawatir muncul kemungkinan tak akan ada capres lain yang maju jika sudah ada satu calon tunggal yang memenuhi persyaratan ambang batas. Sejauh ini, memang baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dipastikan maju lagi sebagai capres di Pemilu 2019 usai dideklarasikan PDIP dan empat partai pendukung lainnya.

Gerindra Tolak Calon Presiden Tunggal

Nah, soal isu capres tunggal tersebut, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengungkapkan bahwa pihaknya memang mulai mengendus ada upaya dari partai koalisi pendukung Jokowi agar dimungkinkannya kandidat tunggal di Pilpres 2019.

Saat ini, isu itu semakin dipertegas dengan munculnya wacana memasangkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Jokowi pada Pemilu 2019 nanti. Dalam rencana duet tersebut, Prabowo ditempatkan sebagai cawapres dari Jokowi.

“Kami sebenarnya sudah mendeteksi dan sudah mengendus sejak awal, sejak pembentukan UU Pemilu itu dari partai pendukung pemerintah, bahkan draf dari pemerintah itu dimungkinkan untuk adanya calon tunggal,” kata Riza sebagaimana dinukil dari Suara.com, Kamis, 1 Maret.

“Pada akhirnya dimungkinkan adanya calon tunggal, pasalnya ada jadi melawan kotak kosong. Itu yang kami deteksi dan Fraksi Gerindra keberatan,” ucapnya.

Gerindra Tak Setuju UU Pemilu

Isu calon tunggal ini sebenarnya memang sudah pernah ditolak oleh Gerindra. Saat pembahasan UU Pemilu di DPR pada 21 Juli 2017 lalu, Fraksi Gerindra jadi pihak yang tidak sependapat dengan sejumlah partai pendukung pemerintah.

Pada akhirnya UU Pemilu tersebut disahkan melalui rapat paripurna DPR saat itu. Saat pengesahan UU Pemilu itu, Fraksi Gerindra bersama Fraksi PAN, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PKS, melakukan aksi walk out.

“Itu kami tentang. Seharusnya tidak boleh ada calon tunggal. Tapi pada akhirnya dimungkinkan adanya calon tunggal. Pasalnya ada, jadi melawan kotak kosong. Itu yang kami deteksi dan Fraksi Gerindra keberatan,” ujar Riza.

Menurut Riza, sistem demokrasi tak membenarkan adanya calon tunggal, karena akan mengurangi partisipasi rakyat. Demokrasi mesti memberi ruang seluas-luasnya kepada publik untuk menentukan presidennya.

“Ini sesuai UU, warga negara itu punya hak memilih dan dipilih. Kalau ada calon tunggal, masyarakat tidak punya hak pilih karena hanya ada satu calon. Itu kami tentang. Tapi kan di parlemen yang berkuasa itu partai pemerintah dan bersikeras dengan adanya calon tunggal,” ucap Riza.

Soal Presidential Threshold 20 Persen

Riza menjelaskan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebanyak 20 persen, adalah upaya penggiringan ke arah calon tunggal. Riza menyebut sekali pun masih ada 80 persen, tapi hitungan partai dinilai tidak persis.

“Jadi dimungkinkan 10 partai yang punya hak untuk mengusung itu dikerucutkan untuk satu calon tunggal. Itu yang dipahami partai pengusung. Ya sudah calon tunggal. Ini melukai demokrasi dan rasa keadilan dan kedaulatan regulasi,” ujar Riza.

Selanjutnya, kata Riza, saat ini sudah ada lima fraksi pendukung Jokowi. Ia juga menilai saat ini ada upaya agar sisa fraksi yang ada di parlemen atau partai yang hingga saat ini belum mendukung Jokowi, bisa masuk dalam koalisi untuk mendukung Jokowi.

Bahkan, muncul wacana memasangkan Prabowo menjadi cawapres pendamping Jokowi di Pemilu 2019 mendatang. Meski begitu, Riza menegaskan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah cerdas dan dewasa dalam memilih pemimpin.

“Kami yakin masyarakat Indonesia sudah cerdas dan memahami. Pak Prabowo orang yang baik dan low profile, negarawan, selama ini sangat NKRI, merah putih ,dan menjunjung kedaulatan rakyat. Kami tetap yakin optimis Pak Prabowo akan menjadi presiden di 2019,” kata Riza.

Sekadar informasi, presidential threshold sendiri merupakan ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden.

Presidential threshold di angka 20-25 persen sendiri mensyaratkan parpol atau gabungan parpol yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden harus memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya. Dalam Pemilu 2014, terdapat 12 partai peserta pemilu.

Nah, pada 12 Juli 2017 tahun lalu, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilu menjadi undang-undang lewat proses sidang paripurna yang panjang dan diwarnai aksi walk out.

Rapat Paripurna DPR menetapkan secara aklamasi untuk memilih opsi A, yang isinya menentukan ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold), sebesar 20 persen dari kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional.

Artinya, partai politik dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden jika menduduki setidaknya 20 persen kursi DPR. Keputusan itu diambil setelah empat fraksi yang memilih RUU Pemilu dengan opsi B, dengan ambang batas sebesar 0 persen melakukan aksi walkout.

Ketentuan ini sendiri sudah diberlakukan pada Pemilu 2009 dan 2014 lalu. Sebagai gambaran, pada Pilpres 2014 kemarin, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diusung oleh PDIP (18,95 persen suara), PKB (9,04 persen suara), Nasdem (6,72 persen suara), Hanura (5,26 persen suara), dan PKPI (0,91 persen).

Jika digabungkan, suara lima partai tersebut melebihi 25 persen. Gabungan atau koalisi partai-partai itu dapat mengajukan calon dan calon wakil presiden.

Share: Alasan Kuat Gerindra Sebut Pemerintah Ingin Capres Tunggal di Pemilu 2019