Budaya Pop

Aksi K-pop Stans Melawan Donald Trump dan Supremasi Kulit Putih

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Lagi-lagi, penggemar K-pop beraksi. Kampanye pemilihan umum Donald Trump yang diselenggarakan di Tulsa, Oklahoma, sepi pengunjung. Padahal, sebelumnya, Manajer Kampanye Trump Brad Parscale mengklaim tiket telah dipesan oleh lebih dari 1 juta orang. Lewat aplikasi TikTok, para penggemar K-pop atau K-pop stans menyebarkan pesan yang isinya mengajak orang-orang untuk mendaftarkan diri pada acara tersebut dan secara sengaja tidak datang.

Pada 11 Juni, pengguna TikTok berusia 51 tahun, Mary Jo Laupp, mengunggah sebuah klip yang mengajak para pengikutnya untuk melakukan registrasi menggunakan nomor ponsel mereka. Mereka juga diajak untuk membalas pesan singkat yang dikirim oleh tim kampanye Donald Trump dengan kata “STOP”. “Ayo pesan tiket sekarang, biarkan ia berdiri sendirian di atas panggung,” tulis Laupp.

Postingannya tersebut telah ditonton lebih dari 2 juta kali dan didukung oleh para K-pop stans. Ribuan pengguna TikTok ikut memposting video serupa yang ditonton oleh jutaan orang. Kebanyakan pengguna menghapus postingan mereka setelah 24 sampai 48 jam untuk mencegah pesan tersebut tersebar secara luas di internet.

“Mayoritas orang yang membuat video ini menghapusnya setelah satu hari agar tidak ketahuan tim kampanye Trump. Anak-anak ini cerdas dan mereka telah memikirkan semuanya secara matang,” ujar Youtuber Elijah Daniel, 26 tahun, yang juga turut berpartisipasi dalam kampanye tersebut.

Alhasil, ketika kampanye berlangsung, hanya 6.200 dari 19.000 kursi stadion yang terisi. Area luar pun sepi dan rencana presiden dan wakil presiden Mike Pence menyapa pendukung mereka di sana dibatalkan.

Donald Trump dikabarkan terkejut dan marah besar ketika melihat kursi-kursi kosong di bagian atas stadion. Ia kemudian masuk ke arena panggung dan mengecam “berita palsu” terkait ancaman penyebaran COVID-19 sebelum acara berlangsung dan secara rasis menyebut virus Corona sebagai “Kung Flu”.

Aktivisme Global Penggemar K-pop

Ini bukan pertama kalinya K-pop stans terlibat dalam aktivisme melawan rasisme. Sebelumnya, mereka juga mendukung aksi #BlackLivesMatter di Amerika Serikat dengan membuka kanal donasi. Ketika boy group BTS mengumumkan donasi sebanyak US$1 juta, para penggemar mereka ikut mengorganisir penggalangan dana dan berhasil mengumpulkan dana berjumlah sama hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.

“Sama seperti BTS, kami berhasil mendonasikan US$1 juta untuk membantu mendanai: (1) bailout untuk mereka yang ditangkap karena memprotes brutalitas polisi, (2) organisasi advokasi yang dipimpin oleh orang kulit hitam yang berjuang melawan ketidakadilan sistemik, (3) mendukung kesehatan fisik dan mental komunitas kulit hitam,” ujar akun Twitter @OneInAnARMY pada 8 Juni lalu.

Tak hanya itu, ketika Departemen Polisi Dallas hendak mengadukan orang-orang yang melakukan protes dengan mengunggah bukti video melalui aplikasi iWatch Dallas, penggemar K-pop di seluruh dunia membanjiri aplikasi tersebut dengan fancam dan meme penyanyi-penyanyi K-pop sehingga polisi tak dapat melacak aksi protes. Aplikasi iWatch Dallas pun diberikan rating rendah beramai-ramai. Tak sampai satu hari kemudian, akun Twitter @DallasPD mengumumkan bahwa aplikasinya down untuk sementara waktu karena “permasalahan teknis”.

Tagar-tagar tandingan #BlackLivesMatter seperti #AllLivesMatter, #BlueLivesMatter, dan #WhiteLivesMatter turut dibajak K-pop stans dengan video-video fancam yang membuat pesan asli tagar tersebut tenggelam.

Walaupun dukungan dari para penggemar K-pop ini mengejutkan banyak orang, aktivisme K-pop sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Kemampuan penggemar K-pop untuk mengorganisir kampanye tak hanya dimanfaatkan untuk mendukung idola-idola mereka, tetapi juga aksi-aksi kemanusiaan. Pada Agustus 2018, anggota ARMY (penggemar BTS) dan penggemar K-pop lain di seluruh dunia mendukung aksi protes di Bangladesh yang mendesak perbaikan standar keamanan jalan setelah tabrakan mematikan terjadi.

Pada 2019, pemerintah Chile mencatat K-pop dan fanbase-nya sebagai salah satu dalang di balik aksi protes menentang kesenjangan kelas dan pelanggaran hak asasi manusia. Pada Februari 2020, ARMY pun mendonasikan uang hasil refund tiket konser BTS di Seoul yang dibatalkan akibat pandemi untuk mendukung pemulihan COVID-19.

“Ada sejarah panjang penggemar K-pop bergerak bersama untuk melakukan hal baik: di Korea Selatan, penggemar kerap mendonasikan beras ke yayasan amal lokal atas nama idola favorit mereka. Pada 2012, penggemar 2NE1 mendonasikan 1.210 pohon mangga ke Sudan. Donasi dan berbuat baik atas nama idola mereka adalah kunci dari K-pop fandom: ini adalah tentang memberikan kembali kepada komunitas dan idolamu,” ujar penulis budaya Crystal Bell lewat instyle.com.

Hingga 2018, The Korean Foundation mencatat terdapat hampir 90 juta penggemar budaya Korea di seluruh dunia. Jumlah penggemar tertinggi tercatat berada di Asia—yaitu sebesar 70,6 juta. Penggemar terbanyak kedua di dunia tercatat berada di Amerika Selatan dan Utara dengan perkiraan sebanyak 12 juta penggemar. Mayoritas penggemar K-pop ini diketahui adalah perempuan—dengan banyak di antaranya adalah LGBTQ, orang kulit hitam dan non-kulit putih, dan kebanyakan adalah generasi milenial. Bell pun menambahkan bahwa, “menjadi komunitas global dapat melebarkan pandanganmu terhadap dunia dan meningkatkan kesadaran atas apa yang sedang terjadi di dunia.”

Walaupun begitu, dengan begitu beragamnya latar belakang penggemar K-pop, penggemar yang toksik pun tak terelakkan. Penggemar-penggemar berkulit hitam yang mengkritik idolanya atas apropriasi budaya, blackface, atau aktivitas rasisme lainnya kerap diintimidasi oleh penggemar lain.

Seorang penggemar kulit hitam dilecehkan oleh sejumlah penggemar lain di Twitter karena mengkritik Suga BTS yang menggunakan sampel audio pemimpin cult Jim Jones di albumnya. Jim Jones diketahui bertanggung jawab atas kematian ratusan pengikutnya—banyak di antaranya adalah orang kulit hitam. Intimidasi atau ancaman tak jarang diterima penggemar berkulit hitam, termasuk pembocoran identitas pribadi mereka atau doxxing, termasuk nama lengkap, alamat, identitas anggota keluarga, hingga nomor ponsel.

Terkait dengan kampanye di Tulsa, Manajer Kampanye Donald Trump, Parscale, mengklaim laporan tentang pengguna TikTok dan penggemar K-pop berhasil melakukan trolling tidak akurat. “Kaum kiri dan online trolls yang menganggap aksi mereka berhasil mempengaruhi jumlah audiens di kampanye tidak tahu apa yang mereka bicarakan dan bagaimana kampanye kami bekerja. Untuk dapat mendaftarkan diri, kamu harus RSVP menggunakan nomor ponsel dan kami terus-menerus menghapus nomor palsu dari daftar,” katanya dikutip dari nytimes.com.

Pengguna Twitter lain, @JustinMBoudreau, mengatakan registrasi yang dilakukan oleh para penggemar K-pop bukanlah faktor yang mempengaruhi jumlah kehadiran peserta kampanye—melainkan kesadaran audiens untuk menghindari kampanye indoor di tengah pandemi. Namun, menurutnya, serbuan itu telah mengacaukan data pemilih potensial Trump.

Sejumlah penggemar K-pop berkata mereka memang mendaftarkan diri menggunakan nomor Google Voice ataupun nomor asli mereka. Ada pula yang mengajak orang tua mereka untuk berpartisipasi.  “Kamu baru saja kena tipu para remaja di TikTok yang membanjiri kampanye Trump dengan reservasi palsu yang membuat kamu percaya sejuta orang mau mendatangi pidato white supremacist selama COVID,” ujar anggota kongres Alexandria Ocasio-Cortez lewat Twitter kepada Parscale.

Share: Aksi K-pop Stans Melawan Donald Trump dan Supremasi Kulit Putih