Isu Terkini

Belajar dari Kasus Ahmad Dhani: Bahayanya Pasal Karet UU ITE Jika Tak Dihapus

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Musisi kenamaan Indonesia Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani resmi dijerat hukuman 1,5 tahun penjara, Senin, 28 Januari 2019. Ahmad Dhani dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan ujaran kebencian dengan tiga cuitan di akun Twitter Ahmad Dhani, @AHMADDHANIPRAST. Diketahui, cuitan tersebut diunggah oleh admin Twitter Ahmad Dhani, Bimo.

“Menyatakan terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,” kata hakim ketua Ratmoho membacakan amar putusan dalam sidang vonis Ahmad Dhani di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jaksel, Senin, 28 Januari 2019.  “Perbuatan menyebar informasi oleh saksi Bimo atas suruhan terdakwa,” kata hakim.

Cuitan pertama yakni ‘Yang menistakan agama si Ahok…yang diadili KH Ma’ruf Amin.’ Lalu, cuitan kedua berbunyi ‘Siapa saja dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya – ADP.’ Kemudian cuitan ketiga berbunyi ‘Kalimat sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur…kalian WARAS??? – ADP.’

Baca Juga: Jadi Korban UU ITE, Ahmad Dhani Bantah Menyebarkan Ujaran Kebencian

Sebelumnya, Ahmad Dhani dituntut 2 tahun penjara oleh jaksa. Dalam putusan majelis hakim, Ahmad Dhani terbukti melakukan tindak pidana yang diatur ancaman hukuman pidana pada Pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sudah sejak lama, sejumlah pasal dalam UU ITE ini dianggap membahayakan. Banyak pihak yang menilai pasal-pasal tertentu yang dianggap sebagai pasal karet dalam UU ITE hanya ditujukan untuk membungkam aktivis. Hal itu pula yang akhirnya membuat pemerintah bisa anti kritik.

UU ITE dengan beberapa pasalnya pun rentan mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, juga berpotensi memunculkan ketidakadilan, bisa dijadikan sebagai alat untuk mengintimidasi, membungkam kritik. Maka dari itu, muncul desakan agar DPR RI melakukan revisi terhadap UU tersebut. Lalu, sejauh apa sebenarnya langkah DPR RI untuk merevisi UU ITE?

Kenapa DPR RI Belum Revisi UU ITE?

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa dirinya tidak berwenang melakukan revisi terhadap UU ITE. Hal itu ia sampaikan terkait maraknya kasus yang menjerat beberapa pihak dengan menggunakan UU tersebut. Termasuk yang terbaru pada kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani yang dijerat menggunakan UU ITE.

Menurut Bamsoet, sapaan akrabnya, bahwa yang berhak melakukan revisi adalah para anggota partai politik di DPR. Pimpinan DPR, lanjut Bamsoet, bertugas sebagai juru bicara terhadap keputusan yang diambil. “Yang berhak merevisi adalah representatif dari parpol,” kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 29 Januari 2018.

“Silahkan tanya pada pimpinan parpol apakah sudah saatnya diubah atau tidak,” ucap anggota Partai Golkar tersebut.

Pasal Karet UU ITE Mestinya Direvisi atau Dihapus

Jika tak segera direvisi, maka sejumlah pasal karet UU ITE berpotensi menjerat korban lebih banyak lagi. Misalnya saja dua pasal yang sering jadi sorotan dan diminta untuk dihapus adalah Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2.

Dalam penjelasannya, Pasal 27 Ayat 3 mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik. Pasal ini multitafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi.

Sementara Pasal 28 Ayat 2 mengatur setiap orang untuk tidak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sejauh ini dua pasal tersebut kerap dipakai untuk menjerat orang lain ke ranah hukum.

Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan bahwa pasal-pasal karet yang terdapat di UU ITE harusnya direvisi atau bahkan dihapus. Kalau pun tak bisa dihapus, maka mau tak mau UU ITE harus segera direvisi agar ada pasal-pasal yang ditinjau kembali.

“Harusnya dihapus karena sudah mulai ada korban dari UU ITE yang multitafsir itu. Kan banyak UU yang lain selain UU ITE untuk menghakimi kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan dunia internet kan? Atau yang dilakukan di dunia maya,” kata Adi Prayitno kepada Asumsi.co, Selasa, 29 Januari 2019.

“Kalau enggak mau dihapus ya direvisi sejumlah pasal yang dianggap kontroversial, terutama pasal-pasal yang multitafsir itu. Karena memang kalau mau jujur ya, banyak kasus ujaran kebencian itu sebenarnya tidak terlampau penting, kecuali ada yang ngomong kata-kata dibunuh, memaki-maki, tapi kan jumlahnya enggak banyak,” ujarnya.

Menurut Adi, sebenarnya sudah banyak yang menolak UU ITE dan minta untuk dihapus saja. Hal itu, lanjut Adi, tak lepas lantaran ada sejumlah pasal yang memang rentan untuk dijadikan alat kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, tak hanya Ahmad Dhani saja yang jadi korban UU ITE, melainkan juga mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

“Cuma masalahnya, enggak ada yang mau revisi, [DPR] masih sibuk kan, masih sibuk semuanya. Mestinya sih kita hanya berharap kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi UU ini,” ujar Adi yang juga merupakan Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 21 April 2008 di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE pun langsung bekerja lima bulan berikutnya atau tepat pada 6 September 2008.

Kala itu, Prita Mulyasari didakwa melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal 310-311 KUHP lantaran dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kasus Prita itu pun ramai jadi sorotan publik, bahkan memunculkan gerakan “Koin untuk Prita” dalam rangka membantu Prita untuk membayar denda.

Setelah Prita, kasus lain yang heboh dan jadi sorotan publik secara besar-besaran akibat jerat dari UU ITE adalah kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. UU ITE menjerat Ahok terkait dugaan penodaan agama dalam rekaman video yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 saat dirinya berpidato di depan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Selanjutnya, video tersebut masif tersebar di media sosial hingga memunculkan gerakan massa untuk memenjarakan dirinya. Akhirnya Ahok dikenakan pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pasal 156 KUHP terkait penyebaran kebencian terkait SARA.

Share: Belajar dari Kasus Ahmad Dhani: Bahayanya Pasal Karet UU ITE Jika Tak Dihapus