Isu Terkini

Masih Banyak Kurangnya, BPJS Tetap Harus Dipertahankan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disinggung oleh calon presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno dalam debat calon wakil presiden yang diadakan kemarin, Minggu 17 Maret 2019. Dalam debat yang diadakan di Hotel Sultan, Jakarta, Sandiaga menyebutkan nama ibu Lis di Sragen yang pengobatannya diberhentikan oleh BPJS. “Saya teringat kisah Ibu Lis di Sragen, di mana pengobatannya harus distop karena BPJS tak bisa meng-cover-nya,” ujar Sandiaga, dalam debat cawapres kemarin.

Berbicara tentang BPJS, pelayanan ini sudah ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Berangkat dari gagasan social citizenship, BPJS merupakan layanan yang harapannya di masa depan dapat memberi jaminan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia secara universal. Seperti apa sejarahnya?

Sejarah BPJS

BPJS adalah lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan jaminan sosial di Indonesia. Lembaga ini dibangun menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial. Peraturan UU di tahun 2011 tersebut menjadi cikal bakal BPJS, karena peraturan tersebut lah yang mengubah PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transformasi ini dilakukan pada tahun 2014 untuk BPJS Kesehatan dan 2015 untuk BPJS Ketenagakerjaan. Kedua lembaga ini bertanggung jawab terhadap presiden.

Baca Juga: BPJS Tak Menanggung Obat Kanker Usus dan Nasib Penderita yang Terus Bertambah

Pada tahap awal program BPJS Kesehatan, pemerintah menggelontorkan sebesar Rp15,9 triliun dari APBN. Harapannya, APBN ini dapat memberikan subsidi asuransi kesehatan sebanyak 86 juta warga miskin. Di bulan September 2012, pemerintah mengungkapkan peserta BPJS Kesehatan harus membayar iruan sebesar Rp22 ribu per orang per bulan. Namun, di bulan Maret 2013, Kementerian Keuangan memutuskan untuk memotong besaran iuran menjadi Rp15,500.

Pengubahan harga ini ditentang oleh Pemerintah DKI Jakarta. Menurut Pemerintah DKI Jakarta kala itu, iuran Rp15 ribu terlalu kecil dan tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan warga miskin. Pemerintah DKI Jakarta justru meminta iuran BPJS Kesehatan dinaikkan menjadi Rp23 ribu per orang per bulan.

Tidak hanya dari Pemerintah DKI Jakarta, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kala itu dr. Zaenal Abidin, mengungkapkan kalau Premi BPJS yang digagas pemerintah belum ideal. Jika berdasarkan saran dari DJSN, angka yang ideal untuk pasien golongan satu adalah Rp27 ribu. “Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kan sudah mengusulkan untuk besaran premi PBI BPJS sebesar Rp27 ribu per bulan,” ujar dr. Zaenal Abidin di Semarang, pada tahun 2013 yang lalu.

Setelah melalui proses panjang, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 31 Desember 2013 yang lalu, meluncurkan BPJS dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Istana Kepresidenan Bogor. Kala, Agung Laksono menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Agung menuturkan kalau transformasi dari Askes dan Jamsostek akan dilakukan tanpa gangguan pelayanan. “Proses transformasi ini tidak boleh mengganggu pelayanan yang diberikan kepada pesertanya. Lebih dari itu, transformasi menjadi bpJS sepatutnya dapat memberikan manfaat yang lebih berkualitas kepada pesertanya,” tutur Agung. BPJS Kesehatan langsung beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjan mulai beroperasi per 1 Juli 2015.

BPJS Kesehatan Terus Defisit

Berdasarkan data CNBC Indonesia, BPJS Kesehatan yang diresmikan pada tahun 2014 langsung mencatatkan defisit sebesar Rp1,65 triliun. Di tahun berikutnya, defisit BPJS semakin membengkak, yakni lebih dari Rp4 triliun. Beruntung pada tahun 2016, BPJS berhasil mendapat surplus sebesar Rp10 miiar. Sedangkan di tahun 2017, kinerja BPJS kembali memburuk, dengan mencatatkan defisit sebesar Rp6 triliun. Angka tersebut belum yang terparah. Di tahun 2018 kemarin, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp10,98 triliun.

Dalam rapat di DPR pada hari Selasa, 18 September 2018 kemarin, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan kalau besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar daripada iuran yang diterima. Hal ini lah yang menyebabkan adanya defisit tersebut. Kondisinya saat ini adalah peserta iuran kelas I harus membayar sebesar Rp80 ribu, kelas II sebesar Rp51 ribu, dan kelas III sebesar Rp25.500. Jumlah ini dinilai masih terlalu murah.

Perlukah Dipertahankan?

Permasalahan yang selalu menjerat BPJS Kesehatan selama ini adalah defisit. Jika dilihat dari logika pasar, BPJS Kesehatan tentu lebih baik gulung tikar saja. Namun masalahnya, BPJS Kesehatan bukanlah sekadar hitung-hitungan ekonomi. Tertanam di dalamnya kepentingan ideologis dan sosial Indonesia yang perhitungannya di luar nalar ekonomi.

Secara ideologis, Indonesia merupakan negara Pancasila. Di dalam salah satu sila, disebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hadirnya BPJS Kesehatan, terutama untuk rakyat kelas ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu perwujudan optimal dari sila tersebut.

Secara sosial, Indonesia masih berstatus negara berkembang. Masih banyak masyarakat Indonesia yang membutuhkan bantuan negara karena belum mampu membiayai hidupnya sendiri. Hal ini lah yang membuat BPJS masih perlu ada sebagai jaminan sosial untuk mereka yang paling membutuhkan.

Share: Masih Banyak Kurangnya, BPJS Tetap Harus Dipertahankan