General

Antara Jokowi dan Prabowo, Siapa yang Serius Urus Tambang?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Kedua calon presiden (capres) tidak ada yang serius menyelesaikan konflik pencemaran lingkungan akibat tambang. Hal itu terbukti dari jawaban kedua capres di debat putaran kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 pada Minggu, 17 Februari 2019 kemarin. Baik capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), maupun capres nomor urut 02 yang menjadi saingannya, Prabowo Subianto, nampak tidak bersungguh-sungguh saat menjawab urusan pertambangan di Indonesia.

Padahal mereka mendapatkan kesempatan untuk merespon pertanyaan soal langkah konkret terkait adanya 8 juta Ha lubang tambang yang belum direklamasi. Kemudian ada pula 500.000 ha yang terindikasi areal tambang tanpa izin. Prabowo sendiri mengakui itu terjadi akibat dari kerja sama antara pejabat pemerintah dengan pengusaha perusahaan besar.

“Ini bisa dianggap adalah kolusi kerja sama antara pejabat-pejabat pemerintah dengan perusahaan swasta besar,” ujar Prabowo dalam Debat Capres Jilid 2 di Hotel Sultan, Jakarta.

Jokowi kemudian menanggapi. Katanya, pemerintah sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan kasus terkait perusakan lingkungan akibat tambang. Bahkan, lanjut Jokowi, pihaknya telah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, kerusakan lingkungan saat ini telah dianggap sebagai kerugian negara. Namun, sayangnya, Jokowi tidak bisa menanggapi jika ada wilayah yang belum mendapatkan pengawasan.

“Kalau memang pengawasan ketat kita bisa lakukan itu, kalau pengawasan kurang itu tidak bisa kita tanggapi,” jawab Jokowi.

Kemdudian ada momen menarik sekaligus, bisa dibilang, cukup miris. Saat Prabowo diberi kesempatan untuk kembali menanggapi isu lumbang tambang yang masih menganga di beberapa wilayah, ia justru mengajak Jokowi menyudahi perdebatan. “Saya kira cukup, ya. Jangan bertele-tele. Kita kan ingin sama-sama memberantas mafia lingkungan. Kan begitu,” ujar Prabowo.

Sontak, setelah Prabowo menyatakan hal itu, penonton bersorak. Moderator lantas meminta Jokowi memberikan tanggapan.”Ya, saya setuju saja,” kata Jokowi singkat.

Ditanya soal Tragedi Lubang Tambang, ini kata Presiden.

“Silakan tanyakan ke gubernur,” jawab Jokowi

“INGAT! Mayoritas izin tambang di Kaltim itu diterbitkan Pemerintah Pusat!”https://t.co/NudVwWbiWQ pic.twitter.com/h1VKUYLU5Y— JATAM (@jatamnas) February 17, 2019

70% Kerusakan Lingkungan Akibat dari Kegiatan Pertambangan

Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkapkan sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. Industri yang bergerak dalam bidang pengambilan kekayaan alam ini dengan mudah melabrak aturan demi kepentingan usahanya. Maka tak heran, hampir 34 persen daratan Indonesia diberikan ke korporasi dengan cara memberikan 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba).

Angka 34 persen yang dikuasai perusahaan itu sendiri belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C. Ada pula kawasan pesisir dan laut yang tidak luput dari eksploitasi. Masih dengan data yang sama, menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini ada lebih 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, sampai laut yang menjadi tempat pembuangan limbah perusahaan tamabng seperti tailing Newmont dan Freeport.

Ditambah luas hutan, setidaknya 3,97 juta hektar, kawasan lindung terancam pertambangan. Padahal fungsi hutang lindung untuk menjaga keanekaragaman hayati di dalamnya. Sedangkan ada sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang juga rusak parah setidaknya terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tampak abai dalam kasus-kasus tersebut.

Kerusakaan Lingkungan dan UU yang Dilanggar

Padahal, segala bentuk kerusakan alam telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam undang-undang tersebut, tertulis jelas bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Regulasi itu juga menyuruh agar para korporasi harus membangun usaha harus berwawasan lingkungan.

Selain itu, tercantum bahwa saat ini kualitas lingkungan hidup semakin menurun dan telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pemanasan global juga semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim. Maka tak ragu, ada beberapa pasal dalam UU tersebut yang memberikan sanksi hingga belasan miliar untuk para perusak lingkungan.

Sayangnya, regulasi saat ini seperti formalitas hitam di atas putih saja. Masih ada pengusaha-pengusaha raksasa yang dilindungi pemerintah bahkan masuk dalam pemerintahan tersebut.

Few eco commitments and suspect funding for Indonesia presidential hopefuls https://t.co/JMYpPdhf3D pic.twitter.com/JtWCqSeupr— JATAM (@jatamnas) February 16, 2019

Jokowi maupun Prabowo Sama-Sama Didukung Pengusaha Tambang

Merah Johansyah, Koordinator Jatam mengatakan dukungan untuk kedua pasangan capres sama-sama didukung oleh pengusaha tambang. Kubu pasangan calon (paslon) 02 misalnya, ada pengusaha minyak dan gas (migas) Maher Al-Gadrie yang memimpin Korel Group. Kemudian ada adik Prabowo, Hasjim Djojohadikusumo yang sempat memiliki tambang PT Batu Hitam Perkasa.

Belum lagi Sudirman Said yang mengevaluasi penerbitan izin usaha pertambangan minerba. Kedua adalah mantan Kepala Badan Pemenangan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan yang istrinya memiliki usaha pengerukan baru bara di Berau. Berikutnya adakah Zulkifli Hasan yang mengeluarkan penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas sebagai awal aktivitas Bumi Suksesindo. Tentunya perusahaan yang juga dimiliki Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang merupakan Ketua Umum Partai Berkarya.

Tak hanya bentuk dukungan dari pengusaha tambang, bahkan capres Prabowo sendiri merupakan pemilik Nusantara Energy Rosources. Perusahaan tersebut diduga terlibat perebutan tambang batu bara dengan Churchill Mining dan Ridlatama. Sementara 70 persen dana kampanye paslon 02 berasal dari perusahaan milik Sandiaga yang berafiliasi kepada sejumlah perusahaan, seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk. Anak perusahaan Merdeka yakni PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo yang memegang pertambangan di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.

Sementara di kubu Jokowi, ada Luhut Binsar Pandjaitan, pemilik Toba Bara. Anak usaha Toba Group tercatat meninggalkan 36 lubang tambang yang membahayakan masyarakat. Selain itu, dalam catatan, Jatam ada juga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang terkait PT Emas Mineral Murni. Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Oedang pun memiliki PT Karimun Granite di Karimun. Lalu, ada juga nama Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam pemilik Johnlin Group.

Belum lagi Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam bisnis batu bara dan emas di perusahaannya Kalla Arebama. Begitu juga Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo di PT Nuansacipta Coal Investment. Hingga Aburizal Bakrie lewat beberapa perusahaannya.

Data itu menunjukkan bukti mengapa Prabowo maupun Jokowi sama-sama tidak serius dalam menangani kasus kerusakan lingkungan akibat tambang. “Oligarki tambang melekat pada kedua calon,” kata Merah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.

Share: Antara Jokowi dan Prabowo, Siapa yang Serius Urus Tambang?