General

Islam, Radikalisme, dan Terorisme dalam Pusaran Politik Indonesia

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Lagi, nama Islam tercoreng karena peristiwa bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11) pada pukul 08.45 WIB. Pria berinisial RMN (24) diketahui beragama Islam dan meledakkan dirinya di lapangan parkir ketika ada banyak orang sedang membuat SKCK. Ia terjadi tak lama setelah mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memberi pesan pada penggantinya, Prabowo Subianto, untuk menumpas radikalisme.

Ryamizard mengingatkan Prabowo bahwa ada 3% anggota TNI yang terpapar paham radikalisme. Senada dengan Ryamizard, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib mengatakan bahwa radikalisme memang sudah menyusup kelompok aparat penegak hukum.

“Saya kerja sama dengan Mabes TNI, diminta Panglima TNI untuk keliling di kodam-kodam. Di internal bahkan ada yang bertanya, ‘Mas, kenapa Aceh bisa menjalankan syariat Islam, kenapa di daerah lain enggak boleh?’ Ini bukan orang sipil, ini kolonel yang tanya,” ungkapnya dalam diskusi “Radikalisme atau Manipulasi Agama?” di Jakarta (4/11).

Yang terbaru, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa materi pencegahan radikalisme akan masuk dalam isu-isu kebangsaan dalam tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019.

Radikalisme sering dikaitkan dengan kejadian terorisme yang terjadi di Indonesia dan agama Islam. Mengutip dari laman NU Online, dikatakan bahwa radikalisme dalam beragama itu bisa berarti positif dan negatif. Positif, jika seorang Muslim radikal dalam menghafal hadits dan belajar agama secara mendalam. Namun, bisa jadi negatif jika ada sekelompok Muslim yang melakukan teror terhadap kelompok tertentu dan mengancam ketentraman.

Menurut Ahmad Fuad Fanani dalam Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda (2013), radikalisme hanya kurang selangkah dari tindak teror. Kalau mengacu pada definisi negatif dari NU Online dan Ahmad, salah satu contoh yang bisa kita ambil adalah kejadian World Trade Centre pada 9 September 2001. Kejadian itu menyimpulkan bahwa dalangnya adalah organisasi militan Islam pimpinan Osama bin Laden, Al-Qaeda.

Selepas penyerangan WTC, nama “Islam” seakan selalu berkaitan dengan berbagai kejadian yang dicap sebagai bentuk “radikalisme” dan mengancam ketentraman khalayak ramai. Gerakan itu pun bisa dibilang terorganisir. Peristiwa bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11) bisa menjadi salah satu contoh. Bisa jadi sang pelaku sudah melakukan riset lapangan terlebih dahulu, sehingga ia tahu bagaimana harus bertindak ketika ingin menyerang pihak kepolisian.

Pan-Islamisme, Awal dari Semuanya

Vedi R. Hafiz, profesor studi Asia di University of Melbourne pun mengatakan kalau gerakan yang mengatasnamakan Islam sudah terorganisir sejak lama (2008). Bisa dibilang dimulai sejak adanya gerakan anti-kolonial pada masa penjajahan. Gerakan ini lah yang memunculkan Pan-Islamisme di Indonesia. Pan-Islamisme merupakan sebuah gerakan yang digagas Jamaluddin Al-Afghani untuk membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Ia juga ingin mengusir penjajahan dunia Barat atas negara Islam.

Pan-Islamisme menjadi dasar berdirinya Sarekat Islam (SI), organisasi yang bertujuan menyatukan para pedagang Islam di Indonesia. Pendirinya, Haji Samanhudi, dan kawan-kawannya ingin menentang politik Belanda yang memberikan keleluasaan bagi pedagag asing untuk berjualan di Indonesia. Organisasi ini jadi organisasi Indonesia pertama yang cepat berkembang. Sayangnya, pertumbuhan SI tidak sejalan dengan objektifnya. Sebagian besar pengikutnya ternyata belum mengerti tujuan dan kegiatan organisasi ini. Alhasil, terjadi penyalahgunaan nama yang menimbulkan aksi merugikan, seperti gerakan anti-Cina karena para anggota SI berpikir bahwa Belanda lebih berpihak pada pedagang Cina daripada pedagang pribumi.

Berbeda dari Haji Samanhudi, HOS Tjokroaminoto selaku salah satu pemimpin SI memiliki pandangan lebih luas untuk mengembangkan SI. Ia berpandangan bahwa Islam itu bisa menjadi landasan di bidang politik dan ekonomi. Islam juga bisa merangkul seluruh umat Muslim tanpa memandang suku, bangsa, ras, dan kelas sosial. Bahkan, Tjokroaminoto mengamini bahwa orang-orang Islam juga bisa merangkul umat Islam yang berasal dari negara lain.

Mirip dengan Tjokroaminoto, Tan Malaka pun sesungguhnya setuju dengan beberapa poin dari SI dan Pan-Islamisme. Dalam pidatonya di Kongres Komunis Internasional IV pada 12 November 1922, ia mengaku bahwa PKI telah berkolaborasi dengan SI. Tanpa kolaborasi antara PKI-SI, menurutnya, kolonialisme tak bisa diusir dari Hindia Belanda.

Membicarakan kolonialisme, paham yang sudah dilarang di Indonesia ini memang sempat dekat dengan Presiden Soekarno. Ia sempat merumuskan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) untuk diterapkan di Indonesia. Paham komunisme, lewat Partai Komunis Indonesia (PKI), juga berkembang pesat pada masa Demokrasi Terpimpin.

Partai pimpinan DN Aidit ini sempat jadi partai non-penguasa terbesar di dunia ketiga, setelah PKI di Rusia dan Cina. PKI juga tercatat makin kuat pengaruhnya di tengah masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dari pesaingnya, seperti Golkar. Hingga September 1965, PKI sering melakukan perlawanan dan, menurut catatan sejarah, dikabarkan ingin melakukan kudeta karena inflasi yang terjadi.

Kemudian terjadilah rangkaian peristiwa dengan dalih menumpas komunisme di Indonesia, mulai dari G30S/PKI sampai Supersemar di tahun 1966. Pada tahun 1960an pula berbagai organisasi militan Islam “berkembang” fungsinya dan menunjukkan taringnya.

Dalam kompetisi politik, partai berlandaskan agama Islam juga muncul pada era Soeharto. Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) berdiri dan menjadi organisasi politik Islam yang kuat. Bahkan Soeharto akhirnya membubarkan partai ini karena dilihat berpotensi membahayakan posisi politik partai tempat ia bernaung, yaitu Golkar, setelah Pemilu 1971.

Di sisi lain, muncul juga organisasi Islam yang didukung pemerintah Soeharto. Komando Jihad beroperasi pada akhir 1970-1980an digambarkan sebagai organisasi bawah tanah pemerintah. Komando Jihad dikatakan ingin merebut kekuasaan dan mendirikan negara Islam. Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang terkait dengan Jemaah Islamiyah dikabarkan memiliki hubungan dengan organisasi tersebut. Menurut tulisan Vedi, Ali Moertopo dikatakan menjadi dalang di balik pembentukan Komando Jihad.

Di masa Orde Baru, peristiwa pengeboman juga sudah terjadi. Kejadian itu menimpa Candi Borobudur dan dua cabang BCA.

Islam, Alat Politik, Reformasi

Menariknya, Vedi menyatakan bahwa ia sempat mengadakan wawancara dengan beberapa pelaku teroris yang mengganggu kenyamanan hidup bersama dan mengatakan jika mereka sudah hidup di era Orde Baru. Mereka pun menyaksikan bagaimana jatuhnya rezim Soeharto tersebut. Misal saja para penggagas Majelis Mujahidin yang berdiri di Yogyakarta hanya dua tahun setelah era Orde Baru berakhir (2000).

Di tahun itu pula bom pada malam Natal 24 Desember 2000 terjadi. Tercatat bahwa peristiwa malam Natal itu diduga dilancarkan oleh Jamaah Islamiyah. Hambali, salah satu anggotanya, memimpin aksi tersebut. Bisa dikatakan bahwa pembuatan bom, persiapan mobil yang digunakan, dan rencana lainnya sudah dilakukan sebelum hari penyerangan. Ini bisa jadi bukti bahwa penyerangan ini dilakukan secara terstruktur dan terorganisir.

Sejak tahun 2000 itu, pemboman masih terus terjadi di mana-mana dengan skala yang bervariasi. Sejak saat itu pula istilah “terorisme”, “radikalisme”, dan “Islam” selalu melekat satu sama lain bagaikan pasangan suami-istri. Satu persamaan yang bisa dijadikan kesimpulan dari berbagai serangan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia itu, semua mengkaitkan dengan Timur Tengah.

Berbagai pemberitaan mengenai pelaku terorisme menyatakan bahwa mereka sempat menghabiskan waktu di Timur Tengah. Hambali, sang perancang terror bom Bali, diberitakan pernah berlatih di Afghanistan dan Pakistan. Imam Samudera, terpidana mati bom Bali 2002, juga sempat “belajar merakit bom” di Afghanistan. Bachrun Naim yang masih dalam pencarian polisi hingga saat ini juga dikabarkan sempat menghabiskan waktu di Suriah. Ini pun menjadi bukti bahwa penyerangan mereka dilakukan secara terorganisir.

Kalau dilihat dari catatan sejarah, mulai dari sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang, Islam selalu terkait dengan aktivitas politik Indonesia. Kejadiannya pun selalu terlihat sudah diatur secara matang. Lalu, siapa yang sudah mengatur serangan-serangan “terorisme” yang mengatasnamakan “Islam” ini?

Share: Islam, Radikalisme, dan Terorisme dalam Pusaran Politik Indonesia