General

Di Saat Penganut Kapitalis-Konservatif Skeptis Dengan Perubahan Iklim

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Saya mulai tertarik dengan dunia politik ketika ayah mengajak saya untuk ikut kampanye Partai Demokrat pada Pemilu 2004. Saat itu, saya masih berusia enam tahun. Ketertarikan saya pada politik memang sudah dimulai sejak sangat dini. Memang kala itu saya tidak tahu banyak. Saya hanya mengetahui kalau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah mantan tentara yang menjadi politisi dan sedang membangun partai baru. Selain itu, saya tahu beberapa nama seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Hamzah Haz. Saya belum paham mengenai spektrum politik, saya belum tahu ideologi politik, bahkan saya belum tahu apa keuntungan dan kerugian memilih salah satu calon. Yang saya tahu, ayah saya adalah seorang pengagum Partai Demokrat saat itu. Ia begitu percaya kalau SBY dinilai dapat membawa udara segar di perpolitikan Indonesia.

Seiring saya tumbuh dan berkembang, hingga kini saya berumur 21 tahun, saya telah banyak belajar mengenai perpolitikan Indonesia dan internasional. Saya tidak bilang kalau saya banyak tahu. Setidaknya, saya mulai banyak memahami banyak hal dibanding ketika saya berumur 6 tahun. Studi saya di perkuliahan yang berkaitan dengan hubungan internasional pun cukup menimbulkan kesadaran akan geliat perpolitikan negara-negara, termasuk Indonesia. Meskipun sudah cukup banyak fenomena politik yang telah saya pelajari dan pahami, tidak ada dinamika perpolitikan yang membuat saya lebih terkaget dan takjub selain kehadiran Donald Trump, seorang Taipan asal Amerika Serikat.

Kemunculan Trump di panggung perpolitikan Amerika Serikat, dengan segala intrik yang diciptakan, telah membuat dia dianggap ‘berbeda’ dari politisi yang lain. Kebedaan ini mulai dari ketidakpatutan berpolitik (political incorrectness) yang menjadi gayanya dalam meluncurkan gagasan di setiap medium, sampai gaya berpolitiknya yang begitu blak-blakan. Salah satu yang paling kontroversial adalah bagaimana posisi Trump terkait perubahan iklim.

Perubahan iklim merupakan fenomena transnasional yang begitu hangat di abad ke-21 ini. Saya menggunakan istilah fenomena transnasional, alih-alih internasional, karena fenomena ini memang tidak spesifik pada satu atau beberapa negara saja. Fenomena ini hadir dihadapi oleh banyak negara dan tidak dapat diatasi oleh hanya satu atau beberapa negara saja. Fenomena ini dapat ditangani hanya ketika satu negara ingin menghilangkan egoismenya untuk menciptakan kebaikan bersama di tingkat global. Meskipun sudah dianggap sebagai fenomena global, namun ternyata masih ada golongan-golongan skeptis yang menganggap bahwa perubahan iklim adalah sebuah ‘mitos’ yang dibuat dengan tujuan agenda politik tertentu. Donald Trump adalah salah satu orang yang masuk dalma golongan skeptis ini. Mengapa golongan-golongan ini ada? Apa basis argumentasinya?

Jika anda menengok ke video-video YouTube atau situs-situs yang berbasis sayap kanan konservatif Amerika Serikat, anda akan terkejut karena melihat banyaknya orang-orang yang ragu tentang fenomena perubahan iklim ini. Golongan-golongan ini ada dengan argumentasi bahwa perubahan iklim seperti saat ini bukanlah suatu fenomena yang unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya) dan mereka pun merasa bahwa perubahan iklim tidak pernah terjadi karena manusia, bahkan untuk yang saat ini. Menurut orang-orang konservatif, perubahan iklim adalah fenomena yang biasa terjadi di bumi, bahkan telah terjadi semenjak bumi terbentuk 4,6 miliar tahun yang lalu. Mereka pun mendukung argumentasi ini dengan membawa pernyataan bahwa jika dilihat dari 2000 tahun ke belakang, pernah ada masa bumi yang begitu panas yaitu di masa Roman Warm Period dengan bumi memiliki temperatur yang lebih hangat, kemudian pernah begitu dingin seperti di masa Dark Ages, lalu menghangat lagi di masa Medieval Warm Period, disusul dengan Little Ice Age, dan terakhir hingga saat ini adalah masa bumi panas yang telah berlangsung dari 300 tahun yang lalu.

Tidak sampai di situ, mereka pun merasa bahwa level karbondioksida dan temperatur tidak selalu berkorelasi positif. Ketika temperatur memanas, tidak selalu karena karbon dioksida meningkat. Begitu pun sebaliknya. Dengan basis argumentasi ini, mereka pun percaya bahwa perubahan iklim adalah bagian dari agenda politik, bukan sebuah kejadian yang nyata. Kelompok skeptis menggunakan istilah global warming alarmist (penggelisah pemanasan global) untuk mendefinisikan pihak-pihak yang diuntungkan dari adanya kegelisahan mengenai perubahan iklim ini.

Memang, siapa saja pihak-pihak yang dianggap sebagai global warming alarmist tersebut? Setidaknya ada tiga golongan yang diuntungkan dari adanya fenomena pemanasan global ini. Pertama, politisi. Politisi yang menjadi bagian dari global warming alarmist dinilai diuntungkan dengan cara mendapatkan uang dan power. Kemudian, skeptis juga menilai bahwa para aktivis lingkungan yang menjadi global warming alarmist diuntungkan karena adanya uang yang dapat mengalir untuk organisasi mereka. Ketiga, media. Dengan menjadi global warming alarmist, media diuntungkan dari tiga sisi, yaitu secara ideologi, uang, dan judul utama.

Sampai sini, jelas seperti apa posisi dan argumentasi kaum konservatif yang skeptis pada perubahan ikllim seperti Donald Trump. Yang menjadi permasalahan adalah, apa yang diucapkan oleh para skeptis adalah omong kosong. Terutama terkait bagaimana karbon dioksida tidak berperan pada perubahan iklim. Bahkan ketika karbon dioksida tidak menjadi faktor utama perubahan iklim, karbon dioksida telah secara ilmiah terbukti dapat meningkatkan risiko untuk penyakit-penyakit dalam seperti pernafasan hingga kanker paru-paru. Menyangkal bahwa karbon dioksida tidak berpengaruh pada perubahan iklim, dan yang lebih parah bahkan mengaku bahwa perubahan iklim tidak terjadi tanpa peran manusia adalah hal yang bodoh.

Lalu, mengapa mereka berada pada posisi skeptis? Alasannya jelas, karena mereka juga membawa agenda politik mereka dalam penelitiannya dan berangkat dari harapan untuk tidak merugi secara bisnis. Mereka berusaha untuk mendekonstruksi apa yang dipercaya oleh banyak orang tentang perubahan iklim, sehingga perusahaan-perusahaan yang mereka miliki tidak harus mengeluarkan banyak uang untuk lebih ramah lingkungan. Para konservatif nan skeptis pada perubahan iklim berusaha melemahkan argumentasi mengenai perubahan iklim karena jika tidak dilakukan, mereka lah yang akan paling merugi daripada orang-orang lain. Singkatnya, mereka adalah sekelompok orang-orang kaya nan berkuasa yang tidak ingin mengeluarkan sedikit uang demi keselamatan dan kenyamanan bersama warga dunia. Sedikit merugi berarti rugi, dan itu tidak sejalan dengan gagasan mereka. Yang pasti buat mereka adalah uang dan kekuasaan yang harus terus dijaga. Keberlanjutan lingkungan? Tidak ada dalam diksi mereka.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Di Saat Penganut Kapitalis-Konservatif Skeptis Dengan Perubahan Iklim