Isu Terkini

Inpres Mobil Listrik: Upaya Jokowi Pamer Komitmen Go Green ke Dunia

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Antara/HO

Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022, menginstruksikan untuk mengganti kendaraan dinas berbahan bakar minyak dengan mobil listrik.

Jokowi telah menunjuk Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Inpres tersebut. Jokowi juga memerintahkan Luhut untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan aturan itu.

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menyiapkan pelaksanaan kebijakan tersebut. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu jumlah kendaraan dinas baik kendaraan jabatan, operasional dan fungsional, tercatat sebanyak 189.803 unit.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai Inpres tersebut memang perlu dilakukan segara. Dia mendukung upaya Jokowi itu untuk mempopulerkan kendaraan listrik di Tanah Air.

“Jadi ini salah satu yang bagus, ke depanya harapannya dengan instruksi ini pemerintah bisa memberikan contoh bahwa bukan saja mendorong dari sisi masyarakat ataupun pemain swasta untuk beralih ke kendaraan listrik, tapi juga pemerintah mencontohkan,” kata Bhima ketika dihubungi Asumsi.co, Senin (19/9/2022).

Bhima mengharapkan upaya itu dapat juga mendorong terbentuknya ekosistem mobil listrik di Indonesia. Khususnya bagi industri mobil listrik dalam negeri. Dia meminta supaya pemain dalam industri mobil listrik yang telah ada dapat dilibatkan dalam pengadaan kendaraan dinas berbahan bakar listrik.

“Kita sudah punya beberapa pemain itu bisa diberdayakan untuk memenuhi instruksi presiden,” ujarnya.

Hadirnya instruksi itu tak lama setelah pemerintah memangkas subsidi bahan bakar minyak dengan dalih anggaran yang jebol. Diperlukan dana yang tidak sedikit untuk mengganti kendaraan dinas yang telah ada untuk beralih ke kendaraan listrik.

Namun Bhima berpendapat hal itu bisa diantisipasi dengan pengadaan secara bertahap. Apalagi hal itu baru bersifat instruksi yang masih bergantung sepenuhnya pada pemerintah daerah maupun lembaga terkait yang akan menjalankan instruksi tersebut.

“Karena pemda kan diminta untuk berhemat, untuk bantu subsidi transportasi, untuk bantuan sosial dari APBD-nya. Jadi ini hanya sekadar pemerintah ingin menunjukkan mumpung jadi presidensi G20 bahwa Indonesia punya komitmen pada mobil listrik,” ujar Bhima.

Menurut Bhima industri mobil listrik dalam negeri masih belum layak untuk disebut siap. Apalagi saat ini harga mobil listrik masih tergolong mahal. Menurutnya harga jual mobil listrik di Indonesia idealnya dipatok pada angka Rp200-Rp350 juta.

Untuk itu Bhima mendorong sejumlah upaya bagi pemerintah guna menekan harga mobil listrik, seperti lewat sejumlah insentif. Lebih penting lagi adalah dengan mendorong industri mobil listrik domestik.

“Saya kira instruksi itukan kekuatan hukumnya lebih lemah ya daripada perpres, daripada peraturan pemerintah ya. Jadi ini seakan cuman bilang, oke good kami punya directions untuk lebih ramah lingkungan. Implementasinya bagaimana? Ya terserah masing-masing, jadi bisa karet,” katanya.

Selain itu Bhima juga menyoroti soal komitmen pemerintah dalam energi hijau. Dia melihat kebijakan mobil listrik dengan tujuan lingkungan seakan tidak konsisten. Sebab berkaca dari pembangkit listrik di Indonesia yang masih didominasi pembangkit kotor, hal itu seakan tidak menyelesaikan pangkal persoalan.

“Memang kurang konsisten kalau di hulu pembangkit listriknya 70 persen masih pakai batu bara dan diesel (BBM). Sementara yang mau dibenahi di hilirnya. Idealnya bauran energi terbarukannya makin dominan, dan diujung baru didorong industri listrik secara paralel,” ujar Bhima.

Pandangan berbeda diutarakan Executive Director Energy Watch, Mamit Setiawan yang menyebut bahwa kendaraan listrik tetap lebih ramah lingkungan kendati menggunakan listrik dari pembangkit kotor. Dia menjelaskan, penggunaan kendaraan listrik lebih rendah dalam menyumbang emisi kendati sumber listriknya dari pembangkit yang dioperasikan dengan bahan bakar berbasis fosil.

“Jadi kalau berdasarkan penelitian, penggunaan kendaraan berbahan bakar BBM dengan jarak 10 km, maka itu akan dihasilkan 2,6 kg karbon dioksida. Tapi kalau dengan kendaraan listrik dengan jarak yang sama, maka hanya menghasilkan 1,6 kg karbon dioksida. Masih sedikit lebih ramah lingkungan lah ketimbang kendaraan bensin,” kata Mamit Setiawan kepada Asumsi.co, Senin (19/9/2022).

Namun dalam hal inpres kendaraan listrik, Mamit berada satu barisan bersama Bhima. Dia mengaku mendukung program cetusan Pemerintah Jokowi tersebut. Dia memandang tujuan dari instruksi itu bagus.

“Dalam arti dalam meningkatkan populasi mobil listrik. Diharapkan ketika kendaraan itu sudah cukup banyak, terus infrastrukturnya sudah cukup bagus ini akan menjadi etalase bagi masyarakat umum,” katanya.

Penggunaan kendaraan listrik yang meningkat, menurut Mamit diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada BBM. Di mana saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor BBM yang cukup besar.

“Ketika populasi kendaraan itu (mobil listrik) meningkat cukup tajam, maka akan membantu mengurangi impor (BBM)” ujarnya.

Baca Juga:

Jokowi Minta Luhut Urus Program Kendaraan Listrik

DKI Bangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik di 2 Terminal

Alasan Jokowi Minta Semua Kendaraan Dinas Diganti Kendaraan Listrik

Share: Inpres Mobil Listrik: Upaya Jokowi Pamer Komitmen Go Green ke Dunia