Isu Terkini

Alasan Google Diduga Monopoli Usaha di Indonesia

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
ANTARA/REUTERS/Andrew Kelly/am

Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai menyelidiki dugaan pelanggaran monopoli dan persaingan usaha dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999, yang dilakukan oleh Google beserta anak usahanya di Indonesia.

KPPU menengarai Google melakukan tiga pelanggaran sekaligus, yakni penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, serta praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi di Indonesia.

Dari riset: Keputusan tersebut dihasilkan dalam Rapat Komisi tanggal 14 September 2022 lalu guna menindaklanjuti hasil penelitian inisiatif yang dilakukan Sekretariat KPPU.

Direktur Ekonomi, Kedeputian bidang Kajian dan Advokasi, Mulyawan Ranamanggala menerangkan, proses penyelidikan akan dilakukan selama 60 hari kerja ke depan, guna memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran undang-undang.

“Penelitian tersebut difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu. GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan/fee kepada aplikasi sebesar 15-30 persen dari pembelian,” kata Mulyawan Ranamanggala dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/9/2022).

Monopoli mekanisme pembayaran: Berbagai jenis aplikasi yang dikenakan penggunaan GPB tersebut meliputi (i) aplikasi yang menawarkan langganan (seperti pendidikan, kebugaran, musik, atau video); (ii) aplikasi yang menawarkan digital items yang dapat digunakan dalam permainan/gim; (iii) aplikasi yang menyediakan konten atau kemanfaatan (seperti versi aplikasi yang bebas iklan); dan (iv) aplikasi yang menawarkan cloud software and services (seperti jasa penyimpanan data, aplikasi produktivitas, dan lainnya).

Kebijakan penggunaan GPB tersebut mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya, dan penyedia konten atau pengembang (developer) aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut.

“Google juga tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain di GPB. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022,” katanya.

Dari penelitian itu, KPPU menemukan bahwa Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93 persen. Terdapat beberapa platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery, namun bukan merupakan subsitusi sempurna dari Google Play Store. Bagi pengembang atau developer aplikasi, Google Play Store sulit disubstitusi karena mayoritas pengguna akhir atau konsumen di Indonesia mengunduh aplikasinya menggunakan Google Play Store.

Ancaman sanksi: Menurut Mulyawan Ranamanggala, pihaknya juga menemukan bahwa Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store.

Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut.

“Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya. Kewajiban ini ditemukan KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 persen dari harga konten digital yang dijual,” ungkap Mulyawan Ranamanggala.

Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5 persen. Mulyawan Ranamanggala menuding, selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.

Pelanggaran lain: Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu dengan mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).

Serta ditemukan bahwa untuk pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia payment gateway/system, sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut.

Perlakuan Google disebut berbeda dengan yang ditujukan bagi digital content provider global, di mana Google membuka provider untuk kerja sama dengan payment system alternatif.

“Dengan demikian berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan pemerintah Indonesia,” kata Mulyawan Ranamanggala .

Kesimpulan: Mulyawan Ranamanggala menjelaskan bahwa dalam melakukan penelitian tersebut, pihaknya telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Dari sana mereka menyimpulkan bahwa kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital.

“KPPU menduga Google telah melakukan berbagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat (tying in), dan praktik diskriminatif. Oleh karenanya, berdasarkan Rapat Komisi pada tanggal 14 September 2022, KPPU memutuskan untuk melanjutkan penelitian tersebut dalam bentuk penyelidikan dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999,” katanya.

Baca Juga:

Google dan Apple Diselidiki Atas Tuduhan Anti Persaingan di Meksiko

Berbagai Negara Minta Data ke Google-Facebook, Angkanya Naik Drastis

Google Bangkrut di Rusia

Share: Alasan Google Diduga Monopoli Usaha di Indonesia