Isu Terkini

Yenny Wahid: Polemik Amplop Kiai Bukti Tak Kenal Budaya Ulama

Joko Panji Sasongko — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Genta Tenri Mawangi

Tokoh perempuan Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid
menegaskan polemik Amplop Kiai, sebagaimana respons terhadap pernyataan Ketua
Umum PPP Suharso Minoarfa, bukti mereka tidak paham budaya ulama.

“Jadi, kalau kiai-kiai disebut terlibat dalam money
politics, saya rasa itu karena enggak kenal budaya kiai dan ulama,” kata
Yenny Wahid seperti dilansir Antara.

Putri ulama almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu
berpendapat bahwa kiai dan ulama itu justru lebih banyak memberi kepada
masyarakat daripada menerima sesuatu dari masyarakat.

“Banyak orang yang datang sowan ke kiai untuk minta
didoakan karena mereka percaya bahwa silaturahmi ke kiai akan mendatangkan
keberkahan. Baik orang miskin maupun kaya, pejabat maupun orang biasa, semua
diterima dan dihormati,” jelasnya.

Bahkan, Yenny mengatakan bahwa tidak jarang ada yang datang
membawa sumbangan dan oleh-oleh.

Menurut Yenny, ada yang datang membawa hasil bumi, seperti
singkong dan kelapa. Akan tetapi ada juga yang memilih memberikan sumbangan
berupa uang dan jumlahnya pun beragam.

“Bapak saya dahulu sering diberi uang Rp5.000,00 oleh
masyarakat yang sowan. Namun, banyak kiai yang bahkan besaran sumbangannya saja
tidak tahu karena biasanya akan disalurkan langsung untuk keperluan pondok
pesantren, membangun masjid, dan lain-lain,” katanya.

Yenny menegaskan bahwa banyak pondok pesantren yang masih
disubsidi oleh kiainya agar para santri bisa belajar dan tinggal secara gratis
di sana.

Ia mengungkapkan pengalaman unik dengan almarhum Kiai Maimun
Zubair, tokoh karismatik PPP. Kalau beliau diberi amplop, amplopnya diterima,
lalu dikembalikan lagi kepada yang memberi.

“Beliau mengatakan bahwa sumbangannya beliau terima.
Karena sudah menjadi haknya, beliau memberikan kembali kepada orang yang
memberi sumbangan tersebut sebagai hadiah dari beliau,” ujarnya.

Yeni lantas menegaskan, “Itulah akhlak kiai, yang bisa
menolak secara halus tanpa menyinggung perasaan orang yang ingin mendapatkan
berkah.”

Sebelumnya dalam pidatonya di acara Pembekalan Antikorupsi
Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk Partai Persatuan Pembangunan bekerja
sama dengan KPK pertengahan Agustus lalu, Suharso menyinggung soal amplop kiai.

Dalam acara yang dapat disaksikan melalui kanal YouTube ACLC
KPK itu, Suharso mengawali pidatonya dengan menceritakan pengalamannya saat
menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP. Dia mesti bertandang ke beberapa kiai
pada pondok pesantren besar.

“Demi Allah dan rasulnya terjadi. Saya datang ke kiai
dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja. Ya, saya minta didoain,
kemudian saya jalan. Tak lama kemudian, saya dikirimi pesan WhatsApp, ‘Pak Plt.
tadi ninggalin apa nggak untuk kiai’, saya pikir ninggalin apa? Saya enggak
merasa tertinggal sesuatu di sana,” ujar Suharso kala itu.

Setelah itu, Suharso diingatkan bahwa jika bertemu dengan
kiai harus meninggalkan “tanda mata”.

“‘Kalau datang ke beliau-beliau itu mesti ada tanda
mata yang ditinggalkan’. Wah, saya enggak bawa. Tanda matanya apa? Sarung?
Peci? Al-Qur’an atau apa? ‘Kayak nggak ngerti aja Pak Harso ini’. Dan itu di
mana-mana setiap ketemu, enggak bisa, bahkan sampai hari ini kalau kami ketemu
di sana, kalau salamannya enggak ada amplopnya, itu pulangnya itu sesuatu yang
hambar. Ini masalah nyata yang kita hadapi saat ini,” jelasnya.

Baca Juga

Share: Yenny Wahid: Polemik Amplop Kiai Bukti Tak Kenal Budaya Ulama