Politik

Sistem Tunjuk Penjabat Kepala Daerah di 2022-2023 Tanpa Ikut Pilkada, Siapa yang Untung?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Ibam/Asumsi.co

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian beberapa hari lalu menjelaskan mekanisme penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah, dari gubernur, wali kota, hingga bupati pada 2022 dan 2023 mendatang. Kira-kira siapa yang diuntungkan oleh mekanisme–yang membuat si penjabat tak mesti susah-susah bertarung ikut pilkada–ini?

Ratusan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Daerah-daerah itu nantinya akan dipimpin oleh Pj kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat, yang mana setiap penjabat punya masa jabatan satu tahun, dan bisa diganti atau mendapat perpanjangan masa jabatan setelah satu tahun.

Setidaknya, nanti ada sekitar 271 daerah yang akan dipimpin oleh Pj kepala daerah. Sebanyak 101 kepala daerah hasil Pilkada 2017 habis masa jabatannya pada 2022, dan 170 kepala daerah hasil Pilkada 2018 yang masa jabatannya habis pada 2023.

Khusus gubernur, bakal ada 27 orang yang akan habis masa jabatannya, tujuh gubernur di tahun 2022 dan 17 gubernur di 2023. Adapun Pj Gubernur ini nantinya akan diajukan Kemendagri lalu dipilih langsung oleh presiden.

​Baca Juga: Untung Rugi Jika UU Pemilu Tak Direvisi

Beberapa nama populer yang akan habis masa jabatannya sebagai gubernur di 2022 dan 2023, di antaranya ada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Penunjukan ratusan Pj kepala daerah oleh pemerintah pusat itu merupakan imbas dari UU Pemilu dan UU Pilkada yang mengatur pilkada provinsi, kabupaten, kota, yang baru akan digelar serentak seluruh Indonesia pada 2024 mendatang.

Sempat muncul desakan–yang akhirnya ditolak–untuk merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada agar pilkada bisa digelar pada 2022 dan 2023.

Seperti Apa Mekanisme Penunjukan Pj Kepala Daerah?

Adapun mekanisme penunjukan kepala daerah diatur lewat Pasal 201 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) dan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Mendagri Tito Karnavian menjelaskan mekanisme penunjukan penjabat (Pj) gubernur yang akan ditentukan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 dan 2023 mendatang. Menurutnya, mekanisme pengangkatan Pj gubernur nantinya berada di bawah kewenangan Kemendagri.

Baca Juga: Aisah Budiatri: Pilkada di Masa Pandemi Tak Lepas dari Kepentingan Elite Lokal dan Nasional

Lalu, Kemendagri akan mengajukan para kandidat tersebut kepada presiden untuk kemudian dipilih. Bagaimana dengan wali kota dan bupati? Nah, untuk level ini, Tito bilang nantinya gubernur bisa mengajukan kandidat Pj Bupati/Wali Kota kepada Kemendagri.

“Di tingkat provinsi itu Kemendagri ajukan ke presiden, kemudian presiden yang menentukan. Lalu bupati, wali kota diajukan gubernurnya, diajukan ke Kemendagri. Saya juga laporkan ke istana ke presiden,” kata Tito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, Senin (15/3/21).

Bagaimana dengan Kriteria Sosok Si Penjabat?

Tito menjelaskan untuk Pj Gubernur, kemungkinan Jokowi akan membentuk Tim Penilai Akhir (TPA), yang bertujuan menilai para birokrat yang akan diangkat. Sebab, jabatan Pj gubernur akan dijabat dengan durasi sekitar dua tahun.

“Untuk gubernur, sesuai undang-undang kita serahkan kepada presiden. Mungkin presiden juga akan lakukan TPA, melibatkan pejabat lain sebagai tim penilai akhir untuk menentukan karena masa jabatan yang panjang,” ucap Tito.

​Baca Juga: Apa pun Ideologi Pelakunya, Korupsi Adalah Korupsi

Namun, Tito menegaskan pihaknya tak akan asal menerima usulan kandidat Pj di level bupati/wali kota yang diajukan oleh para gubernur. Sebab, banyak hal yang harus diperhatikan dan jadi pertimbangan agar pemerintahan di suatu daerah bisa berjalan baik.

Terkait hal ini, Tito bakal melihat kriteria seperti potensi konflik di suatu wilayah bila kandidat tertentu terpilih menjadi Pj bupati/wali kota. Ia pun berkaca dari kasus Halmahera Utara pada 2020 ketika kandidat Pj Bupati yang dipilih oleh gubernur ditentang oleh masyarakat setempat.

“Kita lakukan secara berjenjang dari bawah dengan lihat masukan juga apakah kemungkinan ada potensi konflik kepentingan. Jadi bukan nanti yang di bupati, wali kota di drop dari Kemendagri, tidak.”

Meski sudah pernah ditentang, Tito justru yakin tak akan masalah terkait penunjukan Pj kepala daerah di 2022 dan 2023 nanti. Ia juga melihat proses penunjukan Pj kepala daerah di berbagai wilayah pada 2020 lalu, yang disebut-sebut tak mengalami kendala.

Di 2020 lalu itu, Tito menyebut pihaknya, dalam hal ini Kemendagri, menunjuk Pj gubernur dengan kriteria tepat yakni seorang birokrat tulen. Sehingga, kinerja mereka banyak diapresiasi warga di daerah yang dipimpinnya.

Baca Juga: Masih Relevankah Mempersoalkan Agama Pejabat Publik?

“Kemarin sama ada sejumlah Pj gubernur, 9 kalau enggak salah dari Kemendagri dan mereka dapat apresiasi karena profesional. Saya menekankan kepada mereka untuk tak berpihak. Dia bisa memperbaiki semasa jadi Pj dan netral.”

Penunjukan Pj Kepala Daerah Tanpa Ikut Pilkada, Untungkan Siapa?

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bakir Ihsan menyoroti proses penunjukan Pj kepala daerah pada rentang 2022 dan 2023 mendatang. Ia pun mengingatkan pemerintah mesti betul-betul memunculkan pejabat yang berintegritas yang akan duduk di kursi Pj.

“Ya, ini semua hasil proses politik yang harus dijalankan sebagaimana selama ini sudah berlaku. Ini merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan mandat atau wewenang yang dimilikinya dengan memunculkan pejabat yang berkualitas menjalankan sisa kekuasaannya sampai 2024,” kata Bakir saat dihubungi Asumsi.co, Senin (22/3).

Menurut Bakir, aspek meritokrasi tetap harus jadi prioritas dan dikedepankan untuk memastikan jalannya good and clean government. Sebab, Pj kepala daerah ini akan ditunjuk dalam waktu singkat, tanpa melalui pertarungan ketat di pilkada.

Bakir menilai ada kecenderungan mekanisme penunjukan ini akan menguntungkan partai-partai yang berada di lingkaran Jokowi. Sebab, dalam penunjukan Pj ini, Jokowi memiliki wewenang besar menentukan Pj kepala daerah.

Posisi partai-partai tentu saja berpotensi meraup untung, kalau saja bisa memengaruhi keputusan Jokowi. Sebab, mereka bisa mengamankan posisi kepala daerah tanpa harus bersusah payah dan repot bertarung di pilkada.

​Baca Juga: Terdakwa Korupsi Lahan Kuburan Johan Anuar Dilantik Jadi Wabup OKU, Boleh Keluar Rutan

“Karena ini proses politik tentu ada keuntungan secara politik bagi pemerintah dan pendukungnya untuk kepentingan 2024 dengan segala konsekuensinya, termasuk kemungkinan deviasi atau penyimpangan atau abuse of power,” ucap Bakir.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio, mengingatkan bahwa wewenang Pj kepala daerah nantinya akan terbatas. Sehingga, perlu adanya pengawasan sehingga Pj-Pj ini nantinya tak bertindak atau mengambil keputusan di luar wewenang tersebut.

“Yang paling perlu diwaspadai, jadi daerah-daerah itu, enggak boleh tuh ada kebijakan-kebijakan yang strategis diputuskan oleh Plt gitu. Jadi kelihatannya ya memang tidak ada kebijakan baru yang dibuat, sehingga si Plt ini hanya boleh untuk meneruskan kebijakan-kebijakan dari Gubernur, Walikota, hinngga Bupati yang lama,” kata Hendri kepada Asumsi.co, Senin (22/3).

Senada dengan Hendri, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin juga menyoroti peran Pj kepala daerah yang tak luas dan terbatas. Ia juga mengingatkan agar Pj kepala daerah yang ditunjuk dan berasal dari kalangan birokrat ini nantinya tak main politik praktis.

“Ini yang menjadi masalah. Plt terlalu lama menjabat 1-2 tahun. Ini membuat pembangunan daerah bisa tersendat,” kata Ujang saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (19/3).

“Karena seorang plt tak bisa membuat kebijakan yang strategis. Dan yang menjadi persoalan lagi plt-nya walapun dari ASN, namun mereka bisa saja bermain dan berpolitik untuk dukung mendukung dalam Pemilu dan Pilkada. Secara teori ASN harus netral. Namun dalam prakteknya dukung mendukung,” ujarnya.

Share: Sistem Tunjuk Penjabat Kepala Daerah di 2022-2023 Tanpa Ikut Pilkada, Siapa yang Untung?