Isu Terkini

Pilkada Makassar 2020 dalam Gelembung ‘Orang Lama’ dan Konflik Lingkungan

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Juni 2018 mungkin akan selalu diingat sebagai hari di mana suara rakyat memperoleh panggung untuk unjuk gigi. Ia tak lagi sebatas dimanfaatkan oleh elite tertentu, melainkan turut ambil sikap: mengalahkan elite itu sendiri dalam kontestasi Pilkada Makassar.

Suara rakyat yang wujudnya termanifestasi lewat kotak kosong tersebut berhasil menahan ambisi pasangan Munafri Afifuddin dan Rachmatika Dewi, sekaligus calon tunggal, untuk memimpin Makassar empat tahun ke depan. Perolehan suara kotak kosong unggul dengan margin hampir sebanyak delapan persen.

Kekalahan Munafri-Rachmatika jelas mengejutkan lantaran pasangan ini didukung 10 partai—bayangkan, 10!—yang menguasai 43 kursi di DPRD Makassar.

Kemunculan kotak kosong disebabkan oleh tersingkirnya petahana, Ramdhan Pomanto, yang menggandeng Indira Mulyasari (Wakil Ketua DPRD Makassar), dari gelanggang pemilihan sebab dianggap tidak memenuhi persyaratan. Mahkamah Agung, dalam putusannya, menilai Pomanto memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung lewat program pemerintah.

Upaya menggugat hasil pemilihan sempat dilakukan pasangan Munafri-Rachmatika ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, usaha itu gagal. MK memutuskan bahwa perolehan suara Pilkada Makassar sah secara legal.

Bagi sebagian pihak, kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar merupakan bukti bahwa, pertama, partai terlalu sibuk dengan agenda “merangkul elite” ketimbang turun gunung menyambangi warga di akar rumput. Sementara yang kedua, bisa jadi berjayanya kotak kosong adalah ekspresi kemuakan rakyat Makassar terhadap calon pemimpin yang berada di lingkaran itu-itu belaka. Dengan kata lain: dekat oligarki.

Dua tahun berlalu dan Makassar kembali melangsungkan Pilkada minggu depan. Kali ini, kejadian kotak kosong tak dapat terulang lantaran dinamika politiknya sudah bergeser cukup banyak. Misalnya, ada empat pasangan yang maju memperebutkan kursi orang nomor satu di Makassar.

Munafri lagi-lagi mencalonkan diri untuk kali kedua, bersama Rahman Bando (mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar), serta diusung tiga partai politik: Demokrat, PPP, dan Perindo—ketiganya memiliki 13 kursi di DPRD.

Tiga pasangan tercatat menjadi lawan Munafri. Pomanto, yang dua tahun lalu gagal maju, mencoba mencari peruntungan dengan menggandeng Fatmawati Rusdi, istri Rusdi Masse, Bupati Sidenreng Rappang. Mereka disokong Gerindra dan NasDem. Ada pula Syamsu Rizal, mantan wakil wali kota Makassar era Pomanto, yang maju bersama Fadli, dokter spesialis kandungan. Keduanya didukung PDIP, PKB, dan Hanura.

Terakhir, ada Irman Yasin Limpo, mantan PNS di pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan, yang ambil partisipasi bersama Andi Zunnun, anggota DPRD Sulawesi Selatan. Di belakang mereka terdapat Golkar, PKS, serta PAN yang memberi dukungan.

Wajah Baru, Orang Lama

Kendati terlihat bervariasi, tapi empat pasangan yang maju dalam Pilkada Makassar 2020 ini sebetulnya (tetap) merepresentasikan kelompok lama. Munafri, ambil contoh, merupakan menantu dari Aksa Mahmud, pengusaha sekaligus pemilik Bosowa Corporation. Irman Limpo adalah adik dari Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian dan mantan Gubernur Sulawesi Selatan.

Kemudian Andi Zunnun, tak lain dan tak bukan, ialah anak dari politikus Golkar, Nurdin Halid, yang namanya pernah melambung karena terlibat korupsi dana minyak goreng sewaktu memimpin PSSI.

Tidak ada yang dapat memastikan siapa yang bakal memenangkan Pilkada Makassar tahun ini. Akan tetapi, pilihannya mengerucut ke dua pasangan. Berdasarkan survey Profetik Institute, ambil contoh, elektabilitas Munafri-Rahman berada di posisi atas. Temuan serupa juga muncul dari jajak pendapat Indeks Politica Indonesia.

Sementara menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pasangan Pomanto-Fatmawati unggul ketimbang Munafri-Rahman, dengan selisih di atas 20 persen. Celebes Research Center (CRC) juga turut merilis hasil tak jauh berbeda dengan SMRC: sang petahana lebih unggul ketimbang pasangan yang lainnya.

Panasnya Pilkada Makassar, rupanya, tak sebatas urusan elektabilitas. Di lapangan, urusan Pilkada bisa sampai berujung aksi kekerasan. Pendukung Munafri-Rahman sempat ditusuk orang tak dikenal ketika hendak menuju lokasi debat publik di Palmerah, Jakarta Barat. Beberapa hari setelahnya, pos relawan pendukung Pomanto-Fatmawati, yang terletak di Ujung Pandang, Makassar, dibakar oleh sejumlah orang. Siapa pelakunya dan apa motifnya masih didalami kepolisian.

Masalah Lokal: Konflik Lingkungan

Yang jelas, siapa pun nanti wali kota yang terpilih, tugas cukup berat sudah menanti di depan mata. Dalam beberapa tahun terakhir, Makassar digoyang konflik lingkungan serius, terwujud melalui sejumlah reklamasi di pesisir pantai.

Proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di kawasan Pantai Losari, yang dipegang pengembang Ciputra, misalnya, telah mengakibatkan kehidupan masyarakat pesisir jadi tak karuan: mereka kesulitan mencari ikan, selain juga berhadapan dengan abrasi yang senantiasa mencuat ke permukaan.

Tak hanya CPI saja, reklamasi Makassar New Port, proyek strategis nasional pemerintah yang dikerjakan Pelindo IV sejak Juni 2015, juga turut menyusahkan warga pesisir sebab membuka keran penambangan pasir. Adanya tambang pasir membikin nelayan kesulitan menjaring ikan.

Protes sempat dilayangkan. Akan tetapi, sebagaimana konflik ruang hidup pada umumnya di Indonesia, protes tersebut dibalas dengan aksi penangkapan terhadap sejumlah nelayan.

Oh, ya, omong-omong kalian tahu siapa yang memberi izin Ciputra untuk membangun CIP? Ya, benar, Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan saat itu, yang adiknya sekarang maju dalam kontestasi Pilkada Makassar 2020.

Share: Pilkada Makassar 2020 dalam Gelembung ‘Orang Lama’ dan Konflik Lingkungan