Budaya Pop

Arti Sebuah Nama

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Setiap kali berkenalan dengan seseorang, hal pertama yang saya lakukan adalah menunggu. Lima, empat, tiga … kalau matanya mendelik atau mengerjap-ngerjap dengan cepat, kemungkinan besar obrolan kami akan diawali dengan pertanyaan. Tiga, dua, satu, “Kok namamu Dea?”

Beberapa teman saya merahasiakan nama asli mereka yang feminin dan memilih panggilan yang lebih umum buat laki-laki. Dalam sebuah wawancara, Linda Raharja menanyakan apakah saya pernah terpikir untuk menggunakan pseudonim. Pilihan-pilihan itu tersedia, tetapi saya menyukai nama saya sebagaimana adanya. Ia mudah diingat, bunyinya sedap, dan, kata ayah saya, mengandung harapan agar saya senantiasa menghormati perempuan seperti saya menghormati diri sendiri.

Selama ini, tanpa malu-malu, saya mengira sudah memenuhi harapan tersebut. Memang saya tidak pernah memperlakukan perempuan secara kurang ajar, juga tak pernah berpikir “sALah sEnDiri paKai RoK pEnDek” atau semacamnya tentang korban kekerasan seksual, misalnya, tetapi apakah itu sudah cukup untuk disebut menghormati?

Seorang teman pernah memberitahu saya bahwa ada kenalannya yang tak menyukai Bakat Menggonggong dan penulisnya, yaitu saya sendiri, karena cerita-cerita di dalam buku itu “terlalu maskulin.” Waktu itu saya membela diri, juga tanpa malu-malu, dengan argumen pinjaman dari novelis Jim Harrison dalam wawancaranya dengan Paris Review: “Masak orang disalahkan hanya karena menulis tentang apa-apa yang dia alami dan ketahui?”

Namun, ketika membaca ulang buku itu untuk keperluan penerjemahannya baru-baru ini, saya merasa penilaian yang disampaikan teman saya kelewat halus. Mungkin, sebelum mengatakannya, dia sudah menyaringnya bolak-balik. Semua narator dan tokoh utama cerita-cerita saya laki-laki, sedangkan karakter-karakter perempuannya cuma kebagian peran cerewet, sulit diajak bicara, khianat, dan selalu memperkeruh keadaan meski sekadar berjongkok di pinggiran cerita.

“Sejarah mencatat terlalu banyak lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan,” kata narator cerpen “Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada.” Seorang pembaca berkomentar di Twitter: “Kenapa pula perempuan harus dijinakkan?” Kita memang bisa bicara berbuih-buih bahwa narator atau tokoh utama tidak sama dengan pengarang, bahwa pendapat yang satu belum tentu mencerminkan yang lain, tetapi bagaimana menjelaskan keseragaman cara pandang 14 cerita di buku itu selain mengakui betapa sempit penglihatan penulisnya?

Setiap pengarang, kata Intan Paramaditha dalam esainya “Jalur Feminis pada Pengaruh Sastra”, mesti mencari jejak-jejak suara, pikiran, dan cerita para pendahulu perempuan dalam karya masing-masing, dan mencari tahu sebabnya apabila jejak itu tak ketemu. Saya senang mempelajari puisi-puisi Wislawa Szymborska, Gabriela Mistral, Emily Dickinson, Alejandra Pizarnik, dan banyak penyair perempuan lain. Kalau harus membuat daftar pengaruh atau rekomendasi dadakan, satu atau dua dari nama-nama itu bakal saya cantumkan di tiga besar. Namun, sebagai penulis cerita pendek dan esai, urusan serupa menjadi pelik. Selain Lydia Davis, mungkin semua penulis prosa yang saya anggap hebat dan hendak saya ikuti adalah laki-laki.

Bagaimana dengan penulis perempuan Indonesia? Mungkin, saya bahkan tak bakal membaca Habis Gelap Terbitlah Terang seandainya tak kepepet. Pada 2013, Ubud Writers and Readers Festival menjadikan judul kumpulan surat Kartini itu sebagai tema pokok. Saya tidak pernah tahu mengapa panitia mendudukkan saya, bukan emerging writer lain, di samping Joost Cote, penerjemah dan pakar Kartini dari Monash University, Australia, dan Ayu Utami dalam diskusi berjudul Kartini’s Letters. Panitia mungkin tidak menyangka bahwa saya bakal mempermalukan diri saya dan semua orang hanya beberapa menit setelah pidato pembuka festival oleh Goenawan Mohamad.

Setelah membaca buku itu dalam sekali duduk, saya pikir surat-surat Kartini adalah sumbangan besar pertama Indonesia untuk Global Whining.

“Siapa, sih, orang itu?” tanya Goenawan kepada Zunifah, teman seangkatan saya di kampus yang menjadi relawan festival dan kebetulan berdiri di sampingnya. Zunifah menceritakan itu selepas diskusi. “Keningnya berkerut dan jarinya nunjuk-nunjuk kamu, lho,” katanya, lalu tertawa kencang sekali. Saya kabur sebelum bunyi-bunyian itu reda.

Orang-orang mengatakan bahwa selera bacaan tak pernah murni. Ia bukan sekadar mengikuti pengetahuan dan pandangan si pembaca, melainkan juga membimbingnya. Ia berjalan di belakang sekaligus di depan. Dan ketika berjalan di depan pembaca, selera itu sebenarnya mengikuti jalur yang telah disiapkan pihak-pihak lain lewat, misalnya, kanonisasi dan politik kebudayaan. Jika tulisan-tulisan saya yang menampakkan kesempitan pandangan tentang perempuan merupakan akibat kekotoran saya sebagai pembaca, saya kira cara terbaik untuk mengubahnya ialah dengan memperluas bacaan, tanpa memedulikan arahan selera.

Mudah saja, pikir saya beberapa bulan lalu, sewaktu mengambil dua novel tipis karya pengarang perempuan, Clarice Lispector dan Sayaka Murata, dari rak toko buku. Satu atau dua halaman, tidur, dan sampai sekarang saya belum beres membaca keduanya. Teman saya Sabda Armandio berkali-kali merekomendasikan, bahkan mau meminjamkan, novel Homegoing karya Yaa Gyasi. Tapi saban kami mengobrol, yang saya tanyakan cuma penyakit tukak lambungnya. Di sisi lain, buku-buku George Saunders dan Yuri Herrera yang saya beli belakangan malah rampung dalam sekali baca.

Siasat berikutnya adalah membaca novel-novel grafis yang dibuat seniman dan penulis perempuan. Berhasil. Saya menikmati Anya’s Ghost karya Vera Brosgol, This One Summer karya Mariko dan Jillian Tamaki, dan lain-lain. Memang sebagian besar merupakan kisah-kisah coming-of-age, yang cenderung mudah dibaca, tapi setidaknya saya jadi bisa menghibur diri: kesulitan membaca cerita-cerita perempuan pasti bisa terobati.

Dan dua hari lalu, nenek saya dari pihak ibu, yang biasanya selalu kelihatan sibuk bekerja, bercerita tentang ayahnya. Saya pernah mendengar cerita sepotong-sepotong dari Ibu dan Bibi bahwa kakek buyut saya, namanya Tjhia Tjung, datang dari Taipei. Rupanya cerita itu keliru. Kata nenek saya, ayahnya berasal dari provinsi Guangdong di Cina Daratan, dan melarikan diri dari wajib militer–kemungkinan besar untuk Perang Cina-Jepang Kedua (1937-1945) atau Revolusi Komunis Cina (1945-1949).

Dia tiba di Pulau Bangka dan memutuskan untuk beranak-pinak. Pada akhir 1950-an, Tjung sekeluarga hendak kembali ke Cina tetapi batal karena nenek buyut saya hamil dan takut melahirkan di kapal. Dan kapal tak pernah datang lagi.

Setelah cerita singkat tentang keterampilan kungfu kakek buyut, pelan-pelan minat saya bergeser. Saya jadi lebih banyak bertanya tentang riwayat si juru cerita, nenek saya. Namanya Tjhia Jun Lan dan ia bilang ia disayangi ayahnya karena gesit mengerjakan apa saja, mulai dari menganyam pukat sampai mengangkut kayu-kayu untuk membangun rumah. Sementara itu, ibunya gila judi dan agak sedeng. Ketika Jun Lan berumur 16 tahun, ibunya, yang didorong cemburu buta, mengancam: “Kalau bukan dia, aku yang keluar dari rumah.” Maka Jun Lan mengalah.

Dia memulai hidupnya di kota asing, sebatang kara, sebagai pembantu rumah tangga yang cuma dibayar makanan. Kalau pekerjaan sudah beres, dia mencari uang tambahan dengan menjahit. Lama-kelamaan, koleksi keahliannya menumpuk: mengobras, memasak, membuat kue, memangkas rambut, memelihara segalanya. Dua tahun kemudian ia kawin dengan kakek saya, seorang Melayu, dan memilih untuk menjadi mualaf. Hubungannya dengan ayah dan ibunya putus. Namun, tentu saja tidak ada penderitaan terakhir. Kakek saya senang main perempuan dan, kata nenek saya, ia menanggung derita itu sendirian selama 17 tahun.

“Mau cerita ke siapa? Adik-adikku paling cuma akan bilang, ‘siapa suruh kawin sama Melayu?'” katanya. “Jadilah aku menangis sambil menguleni adonan kue. Entah sudah berapa banyak orang yang makan air mataku,” katanya.

Kapan-kapan, saya ingin menceritakan kisah hidupnya secara lebih rinci. Namun, kembali ke urusan jejak suara, cerita, dan pikiran perempuan, kini saya punya satu riwayat yang bakal saya dekap erat-erat sampai kapan pun. Lisan saja, tapi berapa banyak di antara kita yang mula-mula berminat kepada cerita berkat kelisanan? Berkat kisah ini, yang bekasnya pada saya tak kalah dalam ketimbang The Old Man and the Sea, misalnya, saya merasa mendapat tambahan rasa percaya diri untuk mendengarkan lebih banyak cerita dan pikiran perempuan, untuk membaca buku-buku mereka, meski mungkin tetap tak mudah.

Menghormati seseorang, saya kira, mencakup keinginan untuk mendengarkannya, mengetahui pendapat-pendapatnya, mempertimbangkan perasaannya, dan seterusnya, dan seterusnya. Bukan sekadar tak berbuat jahat kepadanya. “Tapi,” kata Nadya Noor, yang pertama membaca rancangan tulisan ini, “kenapa kamu merasa harus menghormati perempuan?”

Bukan agar lebih memahami perempuan, juga bukan supaya bisa menulis lebih baik tentang mereka. Itu jelas tak masuk akal, sebab perempuan bukan sekadar konsep atau cangkir di atas meja, yang kedudukannya tetap dan tinggal diraih. Setiap orang adalah pribadi, bukan setumpuk kopi yang identik dari selembar kertas.

“Atau, masak cuma untuk memenuhi harapan dalam namamu?”

Saya mengatakan sesuatu kepadanya, yang tak hendak saya tuliskan di sini. Tetapi tentu saja bukan perkara nama. Lagi pula, seperti kata Juliet Capulet dalam lakon Shakespeare yang judulnya diketahui semua orang: apa, sih, arti sebuah nama?

Share: Arti Sebuah Nama